Jadi memperbaiki dunia penyiaran Indonesia, ya harus melalui perbaikan lembaga penyiaran itu sendiri, terlebih lagi yang harus diperbaiki justru mind-set "pemilik"-nya, baik lembaga penyiaran publik maupun swastanya, baik radio atau televisi. Intens dan cepat, karena penyiaran (radio & televisi) berarti produsen 'airtime' dan ini memiliki satuan ukuran terkecilnya adalah "detik".
Masalah yang muncul di dunia penyiaran lebih disebabkan karena tak selarasnya "kecerdasan kepenyiaran" para awaknya dengan "kecerdasan" zaman (masyarakat)nya. Termasuk dalam hal ini adalah "cara- pandang"/visi/paradigmanya
Bagaimanapun, media penyiaran adalah fenomena baru yang lahir dari inovasi-teknologi tertentu. Ternyata, kata-kata pak dalang yang disampaikan lewat "wadah kanda" (mikropon) itu bisa di"pancar"kan melalui "gelombang radio" sehingga bisa didengar di rumah-rumah kita, yang letaknya jauh dari tempat pertunjukan pak dalang, hanya saja kita tak bisa melihat ekspresi pak dalang ketika menggoda para pesinden lewat tokoh-tokoh punakawan. Ini radio bung, inilah penyiaran zaman purba. Tanpa kemampuan baca-tulis kita bisa menikmati acara-acara dari radio, belajar dan mendapat informasi pada saat itu. Oleh karena itu tidak ayal audience media dengan fenomena baru ini demikian melimpah ruah. Akhirnya muncul pula aspek bisnis sebagai konsekuensi logis "berjubel"nya audience. Begitu aspek bisnisnya muncul, maka radio-radio yang ada pada tahun 70-an dikuasai para "idealis" sedikit demi sedikit berganti pemilik, karena radio-siaran (swasta) di"geruduk" oleh para "tengkulak" atau ber"metaphorposis"nya para "idealis media penyiaran" ini menjadi sangat pragmatis, artinya menjadi "tengkulak-2 kepepet".
Mind-Set "tengkulak" inilah menghambat kemajuan fungsi sosial penyiaran, karena visinya tidak akan jauh hanya mengumpulkan "cuan" (keuntungan) saja. Oleh karena itu kecerdasan bangsa ini lambat tumbuh, karena pada diri media-massa (penyiaran)sejatinya berfungsi juga sebagai media untuk mencerdaskan bangsa. Celakanya, teknologi penyiaran ini tumbuh tanpa bisa dihambat oleh para tengkulak manapun. Pertumbuhan teknologi itu adalah bagaimana melalui gelombang-radio itu tidak hanya "suara" saja (radio) yang dipancarkan, tapi juga data-teks serta gambar (televisi). Tidak puas dengan harus menunggu waktu tertentu untuk menikmati sebuah tayangan, maka teknologi segera mensupportnya dengan IPTV (Internet Protocol Television ), yang menyajikan Line-TV biasa, juga "video on demand". Jadi, para tengkulak media penyiaran itu yang tidak memiliki perspektif perkembangan teknologi penyiaran ini, harus siap-siap gigit jari, karena ditinggalkan audience dan klien pemasang iklannya.
Pertanyaannya kemudian, akankah media-penyiaran purba (radio) -sebagai cikal bakal penyiaran ini- harus menjadi fosil dan dimuseumkan. Tidak bisakah media-penyiaran purba (radio) tetap eksis dan justru memberi inspirasi? Pertanyaan terakhir ini sama nuansanya dengan pertanyaan pada awal tulisan ini, maka jawaban saya : bisa saja, kenapa tidak? Asalkan : (1)buang jauh mind-set ketengkulakan itu, (2)ikuti dan kuasai perkembangan teknologi penyiaran, serta (3)sajikan Pola Acara dengan kecermatan pada : Content- Context dan Cover,serta (4) mata acara yang ditayangkan : Clear - Continue - Creative - dan Communicative.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar