stay tune @ 'green' GrandSlam

stay tune @ 'green' GrandSlam
JUN 21 - JUL 4

Jumat, 04 Juni 2010

LOGIKA INDONESIA : pengalaman dari Kota Solo [#1/3]

Bangsa Indonesia. Lahir dari sebuah sumpah 80-an tahun lalu, serta pernyataan kemerdekaan 65 tahun lalu. Saat bersumpah itu,’ rasa kebangsaan’ baru dari kalangan menengah (terdidik) dalam jumlah relative kecil, tanpa ada Pemerintahan. 

Warga bangsa luar Jawa itu berkumpul di Jawa, karena pendidikan tinggi diselenggarakan warga-asing disini, karena banyak industry yang didirikan (oleh warga asing) disini, dan oleh karena itu perlu ‘tenaga murah’ untuk mengurus industry warga asing itu, dibukalah berbagai ‘sekolah vokasi/pendidikan tinggi teknik’ itu. Jadi jangan berharap pendidikan-tinggi/sekolah itu dibuat agar ‘bangsa indonesia’ cerdas-arif bijaksana-dan waskita.

Oleh peran media yang ada saat itu dan orang-kaya luar-jawa yang bersekolah di pulau Jawa, termasuk anak bangsawan yang disekolahkan di negeri-asal warga asing itu (tentunya ini hasil barter konsesi lahan), singkatnya oleh kaum menengah saat itu, gagasan ‘kebangsaan’ ini menyebar pelan-pelan, hingga akhirnya ada momentum tepat, yaitu 17 Agustus 1945, diproklamasikanlah : ada ‘bangsa Indonesia yang merdeka’, ada ‘Pemerintahan Indonesia yang harus bekerja (urusan pemindahan kekuasan) seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya’.

Sampai sekarang, apa tidak hanya URUSAN PEMINDAHAN KEKUASAAN inilah yang diurus oleh kaum-elit, lupa soal urusan ‘berbangsa indonesia’, apalagi berbangsa Indonesia yang SEJAHTERA LAHIR DAN BATIN

Sayangnya hanya Soekarno yang terus memperjuangankan ‘rasa kebangsaan’ dengan politik pencitraan canggih, sehingga dalam tempo yang singkat ‘bangsa-Indonesia’ ini ‘eksis’ di dunia. Sayangnya lagi, banyak yang tidak paham akan langkah-langkah Soekarno ini (soal stadion-soal monas-soal pabrik baja-soal berdikari-dan soal2 yang lain), bahwa CITRA sebagai ‘bangsa besar setara dengan bangsa yang telah maju’, perlu ‘pembenaran’ yang nyata senyata-nyatanya. 

Apa tidak bangga kita kalau bangsa lain itu mempersepsikan ‘Indonesia’ saat itu sebagai sosok yang ‘cerdas-gaul dan fashionable’. Dalam bahasa ‘alaayyy’ : Soekarno is Indonesia banget gitu lohhhh. 

Citra apapun itu dalam persepsi, harus ada pembenarannya di lapangan. Kalau tidak, itu hanya sebuah klaim yang tidak bisa dipercaya, tentunya sang komunikator tidak bisa dipercaya pada akhirnya. Disinilah, kaum-elit yang lain saat itu, GAGAP karena tak paham dalam membuat justifikasi citra yang telah dilansir Soekarno.

Orde Baru. Singkat cerita, urusan citra-bangsa itu bukan urusan yang PERLU DAN MENCUKUPI, kembali pada UUD 45, kita urusi kesejahteraan. Boleh, dan memang harus, tapi jangan lupa, ‘ketidak sejahteraan’ orde-lama itu bukan karena politik-pencitraan Soekarno, ketidak-sejahteraan itu muncul karena kaum cerdik-pandai & trampil jaman orde-lama itu GAGAP mewujudkan apa yang sudah ‘diCITRAkan’ oleh Soekarno. 

Maklumlah, karena para cerdik-pandai & trampil saat itu hasil pendidikan sekolah bangsa asing, tentu yang diajarkan hanya hal-hal teknis bagaimana mengelola/mengamankan pabrik-pabrik dan bangunan-bangunan bangsa asing. 

Para cerdik cendekia nan trampil itu, tidak tahan banting, malas. Rasa kebangsaannya luntur, kalau memang ada sebelumnya, tergoda raja-brana emas-permata, pragmatis. Celakanya, kaum cerdik-pandai & trampil inilah yang meletakkan dasar dan arah pembangunan (termasuk ekonomi) bangsa di orde-baru. Tidak mustahil kalau ‘citra bangsa’ yang telah dipromosikan Soekarno, tidak masuk dalam kerangka pemikiran mereka itu.

.....................................................bersambung. 
Next On :Ekonomi Salah-kaprah Orde Baru, hingga Ekonomi Jahiliyah Orde Reformasi


Tidak ada komentar: