stay tune @ 'green' GrandSlam

stay tune @ 'green' GrandSlam
JUN 21 - JUL 4

Artikel ANTARA








Rahasia Ketangguhan Pemimpin

 

Baru-baru ini ada seorang Menteri yang dikenal berintegritas mundur dari  Kabinet Indonesia Bersatu. Banyak yang mengaguminya sebagai pemimpin  langka di negeri ini. Sebagian lain menyayangkan keputusan itu, meski sebagian lain memafhuminya, namun ada pula yang mencibirnya.

Tak apa. Keputusan seseorang tidak mungkin memuaskan semua pihak. Tugas utama pemimpin adalah mengambil keputusan yang disertai keyakinannya, selain ia juga mampu berkomunikasi dan membangun tim efektif. Sejarah yang akan menguji keputusan sang Menteri itu kelak.

Setelah mundur, sang Menteri mencurahkan isi hatinya pada sebuah forum seminar yang diliput media luas.  Menurut media, alasan utama pengunduran dirinya lantaran ia merasa tidak diterima lagi oleh sistem dan lingkungan politik negeri ini.

Pendek kata, boleh jadi menurutnya sistem dan lingkungan politik negeri ini "buruk" atau ia merasa bila situasi di negeri ini bukan lagi "pertarungannya", melainkan tanggungjawab pemimpin yang lebih tinggi lagi, wallahu'alam.

Seandainya ada kesempatan menyampaikan saran, alangkah bijaknya bila beliau dapat menahan diri agar "suhu" politik mendingin, sebab hal yang baik bila disampaikan pada waktu yang tidak tepat, dapat menjadi bahan perdebatan yang belum tentu produktif.

Sungguhpun demikian, alangkah bijaknya pula bila kita dapat mengormati keputusan dan pandangannya itu. Rekam jejaknya yang berani mengambil keputusan dengan asumsi yang dipahaminya adalah kisah tentang contoh pengambilan keputusan pemimpin sejati pada situasi lingkungan finansial global yang tak dapat diduga.

Keputusannya untuk menyelamatkan sebuah bank kecil yang ditujukan untuk  menghindari dampak buruk yang lebih besar, sehingga belakangan ekonomi negeri ini kini membaik memang menjadi bahan perdebatan apakah berdampak sistemik atau tidak.

Perdebatan itu entah sampai kapan akan berakhir. Para politisi dan ekonom pun berbeda pendapat, meskipun Perbanas dan para bankir membenarkan keputusan sang Menteri.

Saya tak bermaksud mengulas lebih jauh keputusan sang Menteri itu. Kisah ini mengingatkan saya pada kisah-kisah para pemimpin tangguh, yang mampu membuat perbedaan, tanpa bermaksud membuat perbandingan dengan sang Menteri. Rakyat lah yang akan menilai. Sebab mereka punya hati dan pikirannya sendiri.

Seorang teman berujar, ada kebebasan memilih untuk bersikap dan bertindak, ada pilihan atau keputusan sulit yang harus diambil, dan tentu saja ada risiko yang harus ditanggung setelahnya. Setiap orang bebas meletakkan dirinya dalam sejarah.

Para pakar kepemimpinan mengajak kita untuk tetap memiliki imaginasi yang baik meski boleh jadi kita hidup pada lingkungan buruk.

Imaginasi baik yang disertai ikhtiar dan disiplin untuk melakukan yang terbaik, disertai pada kayakinan pada pertolongan Sang Maha Kuasa adalah kunci sukses yang sering kita dengar tentang kisah para pemimpin besar.

Seseorang yang melakukan sesuatu yang disertai imaginasi kebaikan akan menjadikan dirinya sebagai pribadi yang  menempatkan sistem atau lingkungan sekitar sebagai bagian dari pendukung misi hidupnya, "seburuk" apapun lingkungan itu.

Lingkungan yang "buruk" itu sejatinya adalah medan latihan penempaan lahirnya pemimpin yang lebih tangguh.

Kisah-kisah keberhasilan pemimpin tangguh sering melintasi sekat ruang dan waktu, bahkan agama dan keyakinan sekalipun. Sebagai contoh, kepemimpinan Muhammad Yunus menjadi inspirasi dimana-mana. Budi pekerti Bunda Teresa juga telah menjadi pelajaran tentang kekuatan niat baik dan dahsyatnya pelayanan. Demikian pula, Mahatma Gandhi dikagumi dimana-mana.

Konsep Ketuhanan yang berbeda dalam berbagai agama yang diyakini para penganutnya hendaknya tidak membatasi kita untuk berbagi pelajaran tentang rahasia keberhasilan kepemimpinan yang tangguh, bukan?

Sebagai seorang Muslim, tentu saya meyakini bila Sang Maha Kuasa senantiasa memberikan hamba-Nya untuk berkesempatan memilih dan mengubah keadaan yang dihadapinya. Dia Maha Tahu akan kemampuan makhluk paling sempurna ciptaan-Nya untuk dapat melakukan pilihan-pilihan terpuji di hadapan-Nya.

Ibarat sebuah pagelaran musik berkelas dunia, kreasi dan stamina manusia terpuji itu semakin kuat dalam dalam mengatur irama atau lagu yang diinginkannya.

Ia adalah manusia merdeka, lantaran sikap dan tindakannya tidak disandera oleh kondisi lingkungan sekitarnya.

Bagaikan seorang maestro, ia mampu mengkonfigurasikan kombinasi semua alat musik dan pemain-pemain yang tersedia menjadi persembahan yang tetap indah di hadapan siapapun yang mendengarkannya.

Tentunya, ia pun punya pilihan lain untuk menyerah atau berhenti memimpin pagelaran itu, lantaran sebagian alat musik dan kualifikasi pemain-pemainnya tidak seperti yang ia harapkan.

Namun, ia tidak melakukan hal itu, sebab ia yakin, situasi yang dihadapinya telah disediakan oleh sang pemilik hajat pagelaran musik, yang tahu kemampuan sang maestro itu.

Sahabatku yang baik, ilustrasi pagelaran musik itu adalah tentang kehidupan kita. Kehidupan yang kita hadapi adalah rangkaian situasi yang hadir di hadapan kita, meski boleh jadi kita sering tidak mengharapkannya.

Meski kita tidak punya kebebasan sepenuhnya memilih situasi yang dihadapi, bukankah kita punya kebebasan untuk merespon atau bersikap atas situasi yang kita hadapi itu, bukan?.

Sang Maha Kuasa lebih tahu kemampuan manusia ciptaan-Nya, bila memilih tindakan sebagai manusia terpuji.

Saat kita berdoa dengan sepenuh hati agar dijauhkan dari semua masalah, seringkali justru masalah datang, yang membuat kita makin tangguh lantaran kita mampu mengatasinya, bukan?

Kekuatan Keyakinan
Kekuatan keyakinan adalah harta tak ternilai yang kita miliki.

Mengapa bila kita yakin bisa melakukan sesuatu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, biasanya kemudahan dan berbagai "kebetulan" terjadi? Demikian sebaliknya, bukan?.

Secara sains, ahli fisika, Prof. Yohannes Surya, membuktikan hal itu. Berbagai keberhasilan para siswa-siswi Indonesia meraih juara Olimpiade Sains dan Matematika beberapa tahun ini dapat dijelaskan dari perspektif ilmu fisika.

Ketika impian membawa nama baik negeri, kesungguh-sungguhan, disiplin, pikiran positif dan totalitas bertemu, maka secara fisika, semua lingkungan serentak memberikan "kemudahan" dan menjadi energi besar yang mendukung keberhasilan proyek kemanusiaan itu. Ia menyebutnya sebagai gerakan Semesta Mendukung atau "Mestakung".

Dalam sebuah perbincangan dengan Prof. Yohannes Surya pada awal tahun 2008, saya memperoleh gambaran menarik bahwa persiapan, pengiriman dan pelaksanaan beberapa tim Olimpiade yang dipimpinnnya tidak difasilitasi oleh ketersediaan sumberdaya dan logistik yang melimpah.

Malah menurutnya, kesiapan sumberdaya dan logistik sering terpenuhi secara minimal pada saat-saat terakhir menjelang keberangkatan.

Prof. Yohannes Surya dan rekan-rekan selain menggalang dukungan Pemerintah, juga para sponsor dan dukungan perorangan yang peduli tentang kualitas dan prestasi anak bangsanya.

Menurutnya, memang tidak mudah melakukan ikhtiar itu, namun ia punya keyakinan kuat bila gerakan kebaikan ini akan sampai pada tujuannya. Selain terus memompa semangat diri dan timnya, ia juga terus mempompa semangat para siswa-siswinya.

Mereka semua memiliki  kepribadian kuat sembari terus membangun jejaring dukungan.

Kisah keberhasilan Tim Olimpiade ini membuktikan bahwa manusia sejatinya memiliki kekuatan yang luar biasa bila ia memiliki kepribadian yang kuat yang dibangun atas imaginasinya tentang kebaikan pada masa depan, disiplin, ketekunan, prasangka positif dan senantiasa terbuka untuk terus mengasah kemampuan setiap hari.

Dengan kekuatan kepribadian itu, maka lingkungan buruk apapun, sekali lagi, adalah medan latihan dan penempaan diri.

Kisah luar biasa ini sesungguhnya adalah pengulangan atas berbagai sejarah masa lalu.

Ketangguhan Pemimpin Masa LaluPada masa lalu banyak  tokoh perubahan mampu mengubah keadaan buruk untuk menjadi karya yang menyejarah.

Sejarah keberhasilan negeri ini menjadi pelaku utama perlawanan negara-negara terjajah terhadap kolonialisme (1945-1955) juga membuktikan hal itu. Kita sering melupakannya.

Setelah Konperensi Asia-Afrika yang digagas Indonesia pada tahun 1955 di Bandung, makin banyak negara-negara terjajah memerdekakan diri. Konperensi itu telah menjadi inspirasi besar bagai bangsa-bangsa lain.

Seokarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Agus Salim dan para pendiri Republik lainnya adalah para manusia biasa yang memiliki kekuatan keyakinan dan tindakan-tindakan yang luar biasa.

Kekuatan kepribadian juga telah membuktikan dahsyatnya perlawanan Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dhien, Teuku Umar, Pattimura, Kyai Maja, Sultan Hasanudin, Maulana Yusuf dan para Pahlawan Nasional kita lainnya terhadap penjajah Belanda pada masa lalu, melalui kemampuannya menggalang dukungan Rakyat yang dipimpinnya.

Maukah kita belajar dari para pemimpin besar itu? Jangan lupakan sejarah, atau "jas merah" kata Seokarno pada tahun 1967.

Kisah paling fenomenal bagi saya adalah ketangguhan kepribadian seorang pribadi mempesona, Nabi Muhammad SAW. Kekuatan kepribadiannya mampu membekalinya untuk mengatasi berbagai situasi buruk yang dihadapinya pada empat belas abad silam.

Kekuatan kepribadian itu bahkan dipupuk sejak sebelum Beliau diangkat jadi Rasul pada usia 40 tahun.

Sejak muda, rekam jekaknya adalah manusia terpercaya, Al Amien. Siapapun yang berbisnis dengannya merasa mendapat pelayanan terbaik.

Keunikan sekaligus kelebihannya dalam berbisnis ialah ia senantisa menguraikan lengkap kelebihan dan kekurangan produk yang dibawanya, disertai kesantunannya dalam berbisnis.

Semua perilaku itu telah teruji telah menjadikannya sebagai manusia yang dikagumi (the most admired business person) oleh siapa saja pada masa itu.

Demikian mempesonanya, para investor yang berasal dari kaum Nasrani dan Yahudi justru memintanya untuk mengelola bisnis mereka.

Muhammad SAW sejak muda terus memupuk karakternya sebagai pribadi yang jujur (shidiq), amanah (mampu menjaga kepercayaan), fathonah (memiliki kompetensi unggul) dan tabligh (kuat bersilaturahmi).

Dengan bekal kepribadian yang kuat itu, Nabi Muhammad SAW mampu menghadapi berbagai lingkungan buruk yang dihadapainya.

Kisah perlakukan buruk warga Taif dan Suku Quraisy adalah latihan yang menempa pribadi Muhammad SAW yang justru semakin kuat dan pejal.

Sahabatku yang baik, sekali lagi, tulisan ini tidak untuk membandingkan kisah-kisah besar masa silam dengan saat ini. Namun, tak ada salahnya bukan kita belajar terus dari sejarah dan kisah masa silam ini agar dapat menjadi sumber kearifan bagi kita untuk menjadi para pemimpin tangguh, lantaran sejarah terus berulang?

Saya selalu ingat kata-kata bijak "nahkoda hebat selalu terlatih dari kemampuannya mengatasi berbagai badai yang ganas".

Komitmen untuk menegakkan kejujuran, keadilan, ketekunan, keberanian, membangun kompetensi, melakukan pelayanan terbaik, menjaga kepercayaan teman atau mitra, serta menjaga silaturahmi adalah nilai-nilai yang sejatinya dapat memperkuat kekuatan kepribadian kita sebagai manusia merdeka, bukan?

Sebab dengan bekal semua kekuatan itu, semua badai yang datang justru menjadi kesempatan untuk menempa kualitas kepemimpinan diri kita agar terus naik kelas, bukan? Wallahu'lam. (***)

*) Praktisi Manajemen, Pemerhati Kepemimpinan

 

 

Mencermati Kelompok Bisnis




Tahun 2010 yang dalam horoskop China dan Asia Timur dijuluki sebagai Tahun Macan, yang diprediksi oleh para ahli horoskop dapat menyajikan harapan, namun juga berbagai kekuatiran terjadinya bencana alam dan risiko kegagalan dalam karya pelaku ekonomi.




Menyadari harapan, banyak pelaku bisnis sektor riil di Indonesia tidak semuanya mudah menyerah karena ada generasi penerus bisnis keluarga yang kini sudah memasuki generasi kedua, dan bahkan generasi ketiga yang tetap gesit/kreatif. 




Secara teoretis, sebagai pengertian, konglomerasi atau kelompok bisnis adalah netral. Jadi kita tidak bisa begitu saja mengatakan baik atau buruk. Hal yang perlu disoroti adalah perilaku etis tidaknya para pendahulu di masa-masa lalu. Tentunya saja kalangan konglomerat sangat diharapkan masyarakat tidak mengulangi praktik-praktik yang tidak etis.

Dalam era Orde Baru (1967-1998), konglomerasi sebagai fenomena kelompok bisnis yang muncul secara "artificial" dengan segala gebyarnya. Kesan yang diciptakan melalui berbagai publisitas, sepertinya para konglomerat yang paling berprestasi menggelorakan pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan mereka berlindung di belakang para elit yang memiliki kekuasaan (powerful) dan menjadi "backing" eksistensi konglomerasi Indonesia. Kala itu bagi mereka “big is powerful” sementara yang menengah dan kecil, dan mereka perlakukan sebagai pelengkap.

Pada gilirannya kebanyakan pemilik atau manajemen konglomerasi makin memperlihatkan kelemahan atau ketidakbecusan dalam memimpin kelompok bisnis yang mereka sebut kelompok (group) yang terlalu dipaksakan oleh para pemiliknya, yang tidak menghiraukan perlunya kepemimpinan dan kapabilitas manajerial (leadership and managerial capability) dengan ketanggapan etis (ethical sensivity).

Konglomerasi secara teoretis definisinya adalah suatu korporasi yang beragam (diversified). Diversifikasi horisontal maupun vertikal terjadi yang dalam prosesnya tumbuh melalui kegiatan "mergers" (proses penyatuan dua atau lebih unit usaha yang sejenis). Ada yang mengakuisisi yang lebih kecil oleh yang besar dan dikenal sebagai "hostile take overs" (ambil alih secara setengah paksa) oleh yang lebih bermodal besar.

Teoretis suatu merger adalah suatu kombinasi dari dua atau lebih unit bisnis dimana yang satu memperoleh harta (asset) dan utang-utang (liabilities) dari yang lainnya dengan memberi imbalan saham atau tunai, atau kedua perusahaan meleburkan diri dan harta atau utang utang mereka dijadikan satu , dan melakukan penerbitan saham-saham baru. Motivasinya adalah meningkatkan nilai saham untuk kepentingan perhitungan laba akhir periode/tahun.

Strategi diversifikasi yang menjadi kerjaan para pemilik bisnis yang melakukan konglomerasi, banyak yang ikut-ikutan tanpa kesadaran profesional dan etis. Kebanyakan mereka tidak peduli rugi/laba perusahaan. Teramati waktu itu konglomerasi sebagai kumpulan profit-centers yang dimiliki oleh satu orang atau semacam perkongsian dari sekelompok beberapa orang.

Di Amerika Serikat (AS) dalam dasa warsa 1980an para pengamat, antara lain Michael Porter yang pakarnya Harvard Business School menunjukkan agar para pelaku yang tumbuh besar/spekulatif perlu mundur kembali (on the retreat). Dikatakannya bahwa “Manajemen merasa tidak mampu memanajeni gajah (management found they could’nt manage the beast)". Di AS sampai-sampai banyak perusahaan yang pernah mendiversifikasi menjual atau menutup usaha dan atau divisi-divisi yang tidak mendatangkan laba (less or not profitable) hingga kembali memfokus pada bisnis intinya (core businesses).

Yuri Sato, peneliti senior dari Institute of Developing Economies (IDE-AJIKEN), Tokyo, Jepang, akhir 1999 dalam penelitiannya mengungkap bahwa organisasi besar bisnis Indonesia semasa Orde Baru terdiri atas lima (5) kelompok bisnis (business groups):

1. Comprehensive business group, kelompok ini melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas, meliputi sektor keuangan, industri, perdagangan dan jasa. Contohnya BCA, Roda Mas, Dharmala, dan Mercu Buana,

2. Financial business group, yang berangkat dari bisnis keuangan, kemudian melakukan diversifikasi ke sektor sektor lain, seperti Panin, Lippo, dan Bank Bali,

3. Multi-Industrial group, yang bertumpu pada sektor manufaktur dengan beragam rupa industri
dengan membatasi diri pada usaha merakit dan pekerjaan atas pesanan saja (job order) karena ada yang lemah di sektor keuangan. Ada yang mendiversifikasi dalam sektor non-industri, seperti Astra dan Imora,

4. Single industrial group, yang mengawali dengan industri manufaktur tunggal dan melakukan diversifikasi vertikal maupun horizontal, misalnya Mantrust, Kalbe Farma, Gobel dan Gudang Garam,

5. Non-industrial business group, yang sebagai pangkalnya adalah sektor non-industri manufaktur, seperti transportasi, konstruksi, real estate, perdagangan eceran, percetakan, dan didiversikasi ke sektor-sektor lainnya.

Alasan membangun group walaupun tanpa persiapan atau mengaudit diri adalah "penyebaran risiko", dan untuk memberi kesempatan pada generasi berikutnya karena kebanyakan generasi pendiri sudah memasuki usia rata-rata di atas 60-an, dan mereka kebanyakan berpola pikir jangka pendek (quick fix) tanpa menyadari realita penyebaran risiko yang justru menggerogoti eksistensi keseluruhan.

Pola pertumbuhan ke arah konglomerasi Indonesia dapat ditelusuri secara cermat sejak awalnya adalah bisnis keluarga, tanpa strategi, struktur, sistem dan staf yang harus ditaati oleh karyawan non-keluarga. Walaupun ada secara formal bentuknya PT (Perseroan Terbatas) dengan formalitas adanya strategi, struktur, sistem dan staffing, tetap keluarga inti yang memegang kendali manajemen, sedangkan yang non-keluarga sebagai pelaksana yang "nurut manut".

Tahap berikutnya adalah real estate dan atau agro bisnis, dan kelompok yang keempat mendirikan bank meskipun keahliannya minimal. Mereka membeli lahan untuk mendirikan kawasan kantor, kawasan perumahan. Dengan pengalaman dan kedekatan dengan pemerintah daerah, mereka juga memasuki agro bisnis. Sebagai agen pembelanjaan, mereka mendirikan bank. Namun, mereka terjebak dalam ketidakmampuan menerapkan manajemen perbankan selayaknya, sehingga banyak bank mereka dilikuidasi oleh Bank Indonesia (BI).

Dengan adanya "kelompok" yang disebut juga "holding company", maka teoretis dari atas kendalinya diselenggarakan melalui proses yang berbeda. Kendali atas unit-unit bisnis berusaha memastikan, agar sumber daya manajemen dikelola secara efektif karena terpusat kendalinya. Unit-unit bisnis tidaklah independen dalam operasinya. Kelambanan sebagai akibat semuanya diputuskan dari pusat holding itu merupakan salah satu sebab utama kegagalan konglomerat Indonesia.

Gaya manajemen yang diterapkan dalam kebanyakan kelompok binis dengan struktur "holding company" selama Orde Baru, sebelum mereka melikuidasi diri karena kegagalan yang dilandasi pola pikir:
1. Kepemimpinan dari atas ke bawah atau otoriter,
2. Pembuatan keputusan strategis adalah terpusat (centralised),
3. Cross directorship oleh anggota keluarga luas (extended family), antar-unit bisnis anggota "holding",
4. Murah hati terhadap karyawan tingkat menengah dan bawahan (benevolent), serta lebih menyukai pihak yang taat dan tunduk.
5. Struktur organisasi dalam implementasi kerja lebih non-formal, dan tidak kaku (loose),
6. Kerahasiaan memegang informasi bisnis, terutama mengenai pesaing,
7. Perencanaan lebih dikerjakan secara naluriah (intuitif),
8. Komunikasi dalam jaringan kerja (networking) atas dasar saling mempercayai (mutual trust).
9. Melakukan usaha patungan dengan asing dalam investasi yang terfokus pada manufaktur otomotif melalui perakitan, tekstil dan produk tekstil (garmen).

Strategi korporasi adalah pola keputusan yang menentukan sekaligus menjabarkan berbagai tujuan, dan atau sasaran sasaran, yang membuahkan serangkaian kebijakan maupun rencana inti untuk pencapaian sejumlah sasaran tersebut dengan pola organisasi dan sistem kerjanya.

Mereka tidak menyukai apa yang disebut "manajemen lintas unit secara interdependen", tapi lebih suka menerapkan manajemen sebagai unit-unit yang saling memeiliki ketergantungan (dependen) pada manajemen "holding". Akibatnya, tujuan korporasi sangat dipengaruhi oleh kepribadian pemilik/pendiri dan visi pribadinya. Secara terselubung niat mendirikan group itu adalah erat kaitannya dengan akumulasi harta pribadi pendiri/pemilik.

Merintis "kelompok baru" bukanlah pekerjaan yang mudah pada tingkat "holding" karena masing-masing unit satu sama lain berbeda dalam strategi untuk mencapai visi. Ingat, peraturan dan perundangan, seperti yang membatasi monopoli, undang undang yang mengatur persaingan yang adil, undang-undang yang merinci aturan perlindungan lingkungan hidup harus menjadi acuan, agar tidak terjebak dalam ketidakpatutan etis.

Wanti-wantinya, teoretis manajemen strategik "group" tergantung pada empat faktor utama, yakni

1. Peluang peluang masing masing unit dalam lingkungan ekonomi.
Ketidak sempurnaan pasar (market imperfection), koneksi/relasi politik ikut menciptakan ketidakadilan dalam unit unit dalam group untuk memperoleh sasaran pasar yang signifikan,

2. Dalam "group" sendiri ada faktor bagaimana dibangun aliansi strategik yang berada dalam diversifikasi horisontal maupun vertikal,

3. Dalam tingkat "holding" menegaskan bahwa informasi merupakan sumber daya yang paling bernilai karena sumber daya lainnya dapat dijangkau dengan biaya yang bersaing. Pertukaran informasi bisnis antar-unit merupakan suatu proses dan sistem yang saling memberi manfaat untuk strategi masing masing,

4. Pengembangan sumber daya manusia yang kesiapannya sebagai hasil pengembangan dirotasi antar-unit.

Dari telaah di atas, maka agaknya masing masing pihak fokus pada bisnis inti (core business) tanpa neko-neko membentuk konglomerasi. Gaya manajemen kekeluargaan yang kalau dalam skala kecil dan menengah, serta tidak melakukan diversifikasi, maka sebagai hal yang berisiko, namun dapat lebih produktif dan bisa pula membuahkan kesinambungan.-

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat bisnis dan ekonomi studi pembangunan; Lektor kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar), Jakarta.



Biarkan Air Bengawan Solo Mengalir Sampai Jauh



Bambang Dwi Marwoto


Lagu Bengawan Solo, siapa tak kenal? Tembang keroncong yang nampaknya memuat kental nuansa lingkungan hidup ciptaan sang maestro berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah, almarhum Gesang Martohartono itu telah melegenda.

"Bengawan Solo riwayatmu kini/ sedari dulu jadi perhatian insani// Musim kemarau tak sebrapa airmu/ di musim hujan air, meluap sampai jauh// Mata airmu dari Solo/ terkurung Gunung Seribu/ air mengalir sampai jauh/ akhirnya ke laut// Itu perahu, riwayatmu dulu/ kaum pedagang selalu naik itu perahu," demikian syair tembang karya sang maestro pada tahun 1940 itu.

Inspirasi atas lagu itu secara jelas berasal dari gambaran lingkungan aliran sungai itu.

Setelah Perang Dunia II, pasukan Jepang membawa pulang lagu itu ke negaranya. Lagu itu seakan terus menggelinding, berkumandang, sehingga dikenal masyarakat mancanegara. Dan Sungai Bengawan Solo pun dikenal dunia lantaran lagu ciptaan Gesang yang berpulang pada 20 Mei 2010 dalam usia 93 tahun.

Menurut informasi Badan Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSB) di Surakarta, sungai tersebut mengalir sepanjang 540 kilometer, melewati sejumlah daerah di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Wilayah Sungai Bengawan Solo luasnya sekitar 20.125 kilometer persegi, meliputi Pegunungan Sewu Bengawan Solo, alirannya melalui 20 kabupaten dan kota di Jateng dan Jatim.

Wilayah Jateng yang dilewati aliran sungai itu Wonogiri, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Sragen, Blora, Rembang, dan Surakarta, sedangkan wilayah Jatim yakni Ngawi, Magetan, Ponorogo, Madiun, Pacitan, Bojonegara, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya.

Kepala Seksi Operasional dan Pemeliharaan, BBWSB Surakarta, Ruhban Ruzziyatno, mengatakan, sejak banjir besar akibat luapan air Sungai Bengawan Solo, pada tahun 1966, pemerintah membentuk BBWSB guna penanggulangan bencana alam itu.

Banjir pada tahun 1966 merendam 90 persen wilayah Kota Solo. Pemerintah membangun waduk Serba Guna Wonogiri yang selesai pada tahun 1982. Waduk itu mengurangi elevasi air dari 4.000 menjadi 400 meter kubik per detik.

Fungsi waduk itu, katanya, sudah terlihat pada tahun 2007. Wilayah Solo yang terendam banjir tinggal sekitar 10 persen.

Ia menyatakan perlunya peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan sekitar aliran sungai itu. Tanaman keras yang mereka tanam di sepanjang tanggul sungai itu bisa mengakibatkan arus air terhambat.

"Akar-akar pohon yang tumbuh di pinggiran tanggul akan mengganggu arus air sehingga akan meningkatkan tingginya permukaan air," katanya.

Tanaman keras juga akan merusak tekstur tanah di bantaran sehingga mudah terkikis arus air yang dapat mengakibatkan rusaknya tanggul.

Bahkan, banyak masyarakat mendirikan bangunan untuk permukiman di bantaran sehingga air sungai yang meluap akan membahayakan mereka.

Ia menjelaskan, sesuai dengan peraturan pemerintah, bangunan permukiman hanya diperbolehkan berdiri sekitar tiga meter dari sisi luar kaki tanggul sungai.

Pemerintah Kota Surakarta berupaya menyelamatkan warganya dari bencana banjir akibat luapan sungai itu antara lain melalui sosialisasi tentang relokasi warga bantaran ke tempat yang relatif lebih aman.

Pemerintah juga berupaya melakukan konservasi di kawasan hulu Bengawan Solo dengan membuatkan daerah resapan. Jika terjadi hujan deras turun di kawasan hulu, air langsung dapat terserap dan tertampung di waduk tersebut.

Selain itu, pemerintah juga membangun tanggul sepanjang daerah aliran sungai dari Kecamatan Nguter Sukoharjo hingga Jurug Solo yang berjarak sekitar 30 kilometer.

Tanggul ditinggikan satu meter dengan lebar lima meter dan jalan dibuat beraspal sebagai sarana petugas mengontrol kondisi sungai setiap saat.

Ia mengakui, air Bengawan Solo yang terlihat keruh saat ini karena terjadi erosi di kawasan hulu dan tengah aliran sungai itu. Sungai itu juga sering kali menjadi tempat warga membuang sampah dan sejumlah industri membuang limbah produksinya.

"Kami sudah ada laporan titik-titik terjadinya pencemaran air Bengawan Solo, sehingga kami berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk sosialisasi agar masyarakat ikut menjaga kualitas air sungai," katanya.

Pada kesempatan itu ia juga mengatakan bahwa pada masa lampau masyarakat menggunakan perahu sebagai sarana transportasi. Tetapi kini mereka telah meninggalkan perahu itu seiring dengan kemajuan zaman.

Sekretaris Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surakarta, Sulistyowati, mengemukakan, fungsi Sungai Bengawan Solo harus dikembalikan melalui rehabilitasi total dari hulu hingga ke hilir.

Konservasi atas kawasan hulu Bengawan Solo di Wonogiri perlu dilakukan karena kawasan itu sebagai resapan air hujan sehingga air tidak langsung mengalir ke hilir dan mencegah banjir.

"Sesuai UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Lingkungan Hidup, bahwa di daerah hulu harus bisa menyerap air hujan sekitar 75 hingga 95 persen. Di daerah tengah air dapat diserap sekitar 50 hingga 70 persen. Kalau hal itu dilakukan, banjir Bengawan Solo tidak akan terjadi," katanya.

Sepanjang daerah aliran Sungai Bengawan Solo yang telah menjadi permukiman, katanya, berdampak terjadinya banjir dan tanah longsor.

Ia menjelaskan, masyarakat yang bermukim di daerah aliran sungai sering dilanda banjir. Mereka direlokasi ke daerah yang lebih aman.

Pemerintah daerah setempat menata kembali kawasan bantaran Sungai Bengawan Solo di wilayah Solo yang telah ditinggalkan warga karena menyadari pentingnya mengikuti program relokasi.

Pemerintah membangun kawasan itu sebagai taman dan hutan kota.

"Proyek penataan kembali kawasan bantaran Sungai Bengawan Solo sebagai taman dan hutan kota dilakukan di Pucang Sawit, Kecamatan Jebres yang untuk tahap pertama menghabiskan dana sekitar Rp296 juta," katanya.

Kawasan tersebut oleh pemerintah daerah rencananya dibangun fasilitas olahraga dan bersantai masyarakat.

Relokasi
Sejak banjir besar Bengawan Solo pada tahun 1966, pemeritah pusat dan daerah terus melakukan penanggulangan banjir, termasuk relokasi warga dari sepanjang bantaran.

Pemerintah Kota Surakarta telah merelokasi warga di enam kelurahan di bantaran Sungai Bengawan Solo. Hingga awal Juni 2010, realisasinya mencapai 966 rumah.

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Pemkot Surakarta, Widdi Srihanto, mengatakan, sasaran relokasi itu sebanyak 1.571 unit rumah warga tetapi realisasnya hingga saat ini sebanyak 966 rumah dan hingga saat ini masih tersisa 605 rumah.

"Dari 605 rumah warga di bantaran yang belum terealisasi, 525 unit yang merupakan tanah hak milik, 16 unit masih dalam proses administrasi mencairan bantuan relokasi, dan 64 unit dinyatakan gugur karena tidak dapat memenuhi persyaratan," katanya.

Ia menjelaskan, pemilik 966 rumah yang telah direlokasi ke daerah aman mendapatkan bantuan berupa dana senilai Rp8,5 juta setiap rumah untuk pembangunan. Pemkot setempat juga memberikan bantuan senilai Rp12 juta per rumah untuk pengadaan tanah.

"Dana bantuan pembangunan rumah bagi warga bantaran dari APBN dan pembelian tanah relokasi dari APBD. Jadi totalnya mereka dapat Rp20,5 juta per rumah," katanya.

Realisasi program relokasi rumah bantaran di enam kelurahan di Kota Surakarta yakni Pucang Sawit sebanyak 268 unit, Sewu 213 unit, Sangkrah 108 unit, Semanggi 159 unit, Joyosuran 47 unit, dan Jebres 171 unit.

Enam kelurahan tersebut, kata dia, merupakan daerah banjir akibat luapan Bengawan Solo. Pemkot berupaya melindungi warganya di daerah bataran dengan merelokasi mereka ke wilayah yang lebih aman.

Ia mengatakan, program hibah pemkot pascabanjir Bengawan Solo tahun 2007 untuk relokasi rumah warga bantaran dengan prioritas pembangunan permukiman.

Seorang warga RT3/RW7 Kampung Sewu, Kecamatan Jebres, Wawan, mengatakan, pemkot telah merelokasi 213 rumah di kampung itu dan hingga saat ini masih tersisa tujuh rumah karena pemiliknya belum bersedia pindah.

Banjir Bengawan Solo tahun 2007, katanya, mengakibatkan sebanyak 363 rumah terendam air dan 30 unit di antaranya berada di daerah paling rendah.

Warga setempat, katanya, masih berharap realisasi pembangunan rumah pompa agar luapan Bengawan Solo yang mungkin terjadi sewaktu-waktu bisa dipompa dan dialirkan ke anak sungai itu.

"Jika rumah pompa sudah dibangun, banjir akibat luapan Bengawan Solo di kampung dapat diatasi," katanya.

Berbagai upaya ditempuh agar air Bengawan Solo mengalir sampai jauh, seakan seiring dengan alunan tembang keroncong karya sang maestro itu.


Politik Pembiayaan Perikanan
Oleh :   Arif Satria - Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB

Isu politik pembiayaan perikanan kini makin mengemuka seiring rencana pemerintah untuk mendongkrak produksi sektor ini sebesar 353 persen pada tahun 2015. Rencana pemerintah ini membutuhkan dana yang besar, yang dapat bersumber dari APBN maupun non-APBN.

Selama ini pembiayaan non-APBN bertumpu pada lembaga perbankan. Tentu pembiayaan ini bukan tanpa masalah. Apa saja masalah pokok dan strategi untuk menciptakan iklim pembiayaan dari perbankan yang kondusif? Saat ini dana perbankan yang disalurkan ke sektor perikanan masih sangat kecil, baik untuk skala mikro, kecil menengah, maupun besar.

Pada 2005, alokasi kredit untuk perikanan hanya 0,22 persen. Ternyata berdasarkan data Bank Indonesia hingga tahun 2009, alokasi itu tidak berubah nyata, yakni sekitar 0,23 persen. Sumbangan terbesar dalam alokasi kredit tersebut bersumber dari Bank BRI.

Mengapa intermediasi untuk mendukung sektor perikanan tersebut kecil? Pihak perbankan dan pihak pelaku usaha perikanan memiliki pandangan berbeda.

Perbankan melihat sektor ini berisiko tinggi yang terlihat dari NPL (Non-Performing Loan) sebesar 11,76 persen, sebuah angka yang melebihi ambang batas NPL.

Dalam sebuah seminar di Bank Indonesia, salah seorang direktur BRI menyatakan, sektor ini juga belum punya pasar yang tertata, dan mobilitas nelayan yang tinggi. Ada juga yang mengatakan bahwa masyarakat nelayan sulit dipercaya.

Namun perspektif non-bank lain lagi. Mereka melihat perbankan terlalu melihat risiko tanpa mempertimbangkan peluang. Peluang pasar cukup besar karena Ikan sebagai produk pangan akan selamanya dibutuhkan. Begitu pula permintaan pasar internasional masih tinggi.

Namun Bunga kredit dinilai masih terlalu tinggi, prosedur yang rumit, apalagi aturan perbankan selalu mensyaratkan agunan yang memberatkan nelayan. Jangkauan bank juga sangat terbatas. Tidak banyak bank yang beroperasi di sentra-sentra produksi perikanan.

Jadi dua pandangan yang bertolak belakang itu sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu persoalan kredit perbankan untuk sektor perikanan memang seperti itu. Apakah ada jalan keluarnya ? Jalan keluar selalu ada.

Tetapi hal paling mendasar sebelum menjawab beberapa persoalan teknis adalah : apakah benar pendapat kalangan perbankan bahwa nelayan sulit dipercaya? Memang sulit untuk menjawab pertanyaan ini.

Kepercayaan modal paling berharga dalam berusaha, termasuk ketika berhubungan dengan perbankan. Untuk melihat apakah nelayan bisa dipercaya atau tidak, kita bisa melihat bagaimana relasi nelayan dengan para toke yang terikat dalam hubungan patron-klien.

Hubungan mereka bersifat personal dan basisnya kepercayaan. Nelayan percaya bahwa toke akan membantu kehidupan nelayan, dan toke pun percaya nelayan akan loyal serta memenuhi seluruh kewajibannya kepada toke. Hubungan ini berlangsung cukup lama, karena masing-masing pihak saling menjaga kepercayaan yang sudah terbangun.

Jadi, relasi patron-klien seperti itu bisa menggambarkan masyarakat nelayan dapat dipercaya. Nah, sekarang tantangannya adalah bagaimana mentransformasi kepercayaan dalam relasi informal patron-klien ke dalam relasi formal nelayan-perbankan atau nelayan-koperasi.

Tentu bukan hanya soal kepercayaan, tetapi juga ada hal yang lebih teknis yang harus segera dituntaskan, yaitu tentang penjaminan. Pertama, penjaminan finansial. Mengapa perbankan mau terlibat di program Kredit Usaha Rakyat (KUR)? Jawabannya adalah karena perbankan melihat ada sistem penjaminan finansial, yakni adanya peran ASKRINDO.

Begitu pula, mengapa Bank Bukopin mau terlibat dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), tentu karena di situ ada sistem penjaminan oleh pemerintah (cash collateral).

Dengan penjaminan ini maka risiko bagi perbankan semakin berkurang. Nah, pihak perbankan terus berharap ada institusi penjaminan lainnya untuk berbagai skim kredit. Di sinilah pemerintah ditantang untuk bisa menciptakan sistem penjaminan bagi usaha sekala mikro dan kecil.

Kedua, adalah penjaminan teknis usaha. NPL sebesar 11 persen sering ditafsirkan perbankan bahwa usaha perikanan berisiko. Oleh karena itu masalah ini perlu dijawab dengan perbaikan usaha perikanan sedemikian rupa sehingga mampu menjamin bahwa risiko usaha ini ini kecil.

Penjaminan teknis usaha ini berupa tersedianya tim pendamping teknologi (TPT), pengembangan kelompok usaha, serta pilihan komoditas yang peluang keberhasilannya tinggi. Untuk pilihan komoditas, lele dan rumput laut dapat diprioritaskan karena risikonya kecil.

Begitu pula perlu dikembangkan kemitraan usaha dalam memperbanyak pelaku dalam rantai usaha. Sebagai contoh, pembudidaya ikan tidak perlu mengembangkan benih sendiri dan lalu membesarkan hingga berbulan-bulan. Akan tetapi cukup fokus pada rantai tertentu saja, yaitu produksi benih, membesarkan hingga ukuran tertentu.

Dengan demikian, risikonya tidak sebesar bila seluruh rantai usaha ditangani sendiri. Untuk penjaminan teknis ini tentu saja tidak semata bersifat mikro-teknis, tetapi juga bersifat makro-struktural. Yaitu, sejauh mana variabel makro seperti tata ruang, iklim perdagangan, infrastruktur, serta kebijakan fiskal bisa mendukung sektor perikanan.

Variabel makro ini sangat penting dalam mendukung variabel mikro. Variabel makro ini akan kondusif bila ada kemauan politik dari pemerintah. Jadi, memang bolanya adalah politik.

Namun demikian, bank bukanlah segala-galanya. Untuk kredit mikro, pemerintah juga perlu memikirkan sumber pembiayaan non-bank, yaitu dengan mendirikan Lembaga Pembiayaan Perikanan (LPP) non-bank. Hal ini perlu untuk memecah kebuntuan tersendatnya penyaluran dana perbankan ke sektor perikanan. KUR belum berhasil menjangkau sektor ini.

Begitu pula Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) di mana dana yang tersalurkan ke sektor ini tahun 2009 baru mencapai 0,2 persen. Artinya program pembiayaan yang populis seperti itu ternyata belum mampu mendongkrak tumbuhnya sektor perikanan.

Bila diamati, program ini masih berbasis perbankan, yang berarti aturan perbankan yang selama ini dianggap menghambat juga berlaku pada program ini.

Inilah yang mendasari pentingnya LPP. Diharapkan LPP lebih bisa kompatibel dengan karakteristik usaha perikanan yang memang khas. Bank bersifat generik dan tidak bisa sefleksibel yang kita mau sesuai dengan karakteristik usaha perikanan, karena bank terikat UU perbankan. Nah, memang untuk membuat LPP perlu payung hukum.

Untuk itu paling tidak ada dua opsi, yaitu membuat UU LPP atau ikut dalam RUU Pembiayaan Pertanian yang saat ini sedang diajukan. Dua opsi itu perlu dikaji kelayakannya baik secara hukum, ekonomi maupun politik.

Jadi, sekali lagi bahwa persoalan pembiayaan perikanan memang tidak sesederhana yang kita bayangkan. Akan tetapi berkaca pada kondisi makro-ekonomi kita stabil, dan kinerja perbankan juga baik, maka mestinya intermediasi tidak bermasalah.

Adalah tugas pemerintah untuk terus meyakinkan usaha perikanan prospektif. Pada saat yang sama, perbankan harus mulai membuka mata lebar-lebar terhadap prospek usaha itu. Oleh karenanya, pihak perbankan, pelaku usaha, dan pemerintah harus menunjukkan goodwill yang sama. Bila masing-masing punya kehendak yang sama maka pemecahan masalah pembiayaan akan lebih mudah dilakukan. (***)

Penulis adalah Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB