stay tune @ 'green' GrandSlam

stay tune @ 'green' GrandSlam
JUN 21 - JUL 4

OPINI KOMPAS









Indonesia, Tenunan yang Robek
Selasa, 15 Juni 2010 | 03:15 WIB 
YUDI LATIF
Entah mengapa saya mulai sangsi dengan janji demokrasi di negeri ini. Dari penjelajahan setiap pekan mengarungi cakrawala Nusantara, dari jarak dekat dengan bau keringat dan kaki kebangsaan, dengan mudah kupergoki retakan-retakan dari arsitektur kenegaraan kita. Dua belas tahun setelah reformasi demokratis digulirkan, Indonesia adalah tenunan yang robek, karena simpul yang rapuh.

Dari Danau Sentani di Papua hingga Danau Toba di Sumatera Utara, kebeningan air kearifan memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kebudayaan. Tentu merisaukan, karena Indonesia adalah pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai simpul pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara itu tidak bisa diikat menjadi sapu lidi yang kuat, tetapi sekadar serpihan lidi yang berserak, mudah patah.

Indonesia lebih merupakan state-nation ketimbang nation-state. Dasar mengada dari bangsa ini tidak lain karena eksistensi negara. Bangsa Indonesia dipersatukan bukan karena kesamaan budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya negara persatuan, yang menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala paham golongan dan perseorangan. Jika negara merupakan faktor pemersatu bangsa, negara pula yang menjadi faktor pemecah-belah bangsa. Dengan demikian, lebih dari negara mana pun di muka bumi ini, politik kenegaraan bagi Indonesia sangatlah vital untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa.

Arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat-guna sanggup mempertautkan kemajemukan Indonesia sebagai nations-in-nation adalah desain negara kekeluargaan. Secara bertepatan, pendiri bangsa, dengan keragaman garis ideologisnya, memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan. Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, tetapi adalah perpaduan dari banyak unsur: paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi (khususnya Jawa), konsepsi kekeluargaan Hakkoo Itjiu Jepang, perspektif Islam tentang ketidakterpisahan individu dan masyarakat (fardu ain dan fardu kifayah), perspektif sosialis kasih Kristiani, populisme radikal ala Soekarno maupun demokrasi sosial ala Hatta, dan terlebih lagi paham integralisme konservatif ala Soepomo.

Dasar idealisasi paham kekeluargaan itu pula yang membuat Soekarno tiba pada kerucut pendapat, sekiranya Pancasila itu diperas menjadi satu sila, hal itu bernama ”gotong royong”. Maknanya, keseluruhan sila-sila Pancasila itu dijiwai semangat kekeluargaan: ketuhanan secara kekeluargaan (yang berkebudayaan lapang dan toleran); kemanusiaan universal secara kekeluargaan (yang adil dan beradab); persatuan kebangsaan secara kekeluargaan (Bhinneka Tunggal Ika); demokrasi-kerakyatan secara kekeluargaan (permusyawaratan dengan hikmah kebijaksanaan); serta keadilan ekonomi secara kekeluargaan (usaha bersama dan miliki bersama).

Dengan demikian, semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar (archetype) dan karakter ideal keindonesiaan. Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Soekarno, kekeluargaan adalah ”meja statis” dan ”leitstar dinamis”, yang mempersatukan dan memandukan.

Oleh karena kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan, kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat biduk perahu kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah-tujuan.

Jika demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan demokrasi itu cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan. Peraturan daerah berbasis eksklusivisme keagamaan bersitumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan; lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab; tribalisme, nepotisme, dan pemujaan putra daerah menguat dalam pemilu kepala daerah melemahkan persatuan kebangsaan; anggota parlemen bergotong royong menjarah keuangan rakyat, memperjuangan ”dana aspirasi” seraya mengabaikan aspirasi rakyat, melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan; ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial dan tindak korupsi melebar menjegal keadilan sosial.

Demokrasi yang dijalankan justru memutar jarum jam ke belakang, membawa kembali rakyat pada periode prapolitik, saat terkungkung dalam hukum besi sejarah survival of the fittest dan idol of the tribe. Ada jarak yang lebar antara voices dan choices; antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat.

Distorsi ini terjadi karena orang-orang bekerja dari politik, bukan untuk politik. Di sinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha hitam dan politisi hitam dalam proses institutional crafting dan legal drafting. Suatu penyanderaan demokrasi yang mengarah pada legalisasi kejahatan. Tiba-tiba saja nubuat Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca menjadi kenyataan, ”Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.”

Mengarungi Nusantara dari ufuk ke ufuk menerbitkan fajar keinsafan akan kekuatan ragawi keindonesiaan yang terancam lumpuh oleh kanker otak kebangsaan. Merenda kembali tenunan robek keindonesiaan memerlukan penyehatan pada pusat saraf politik kenegaraan, dengan menginfuskan kembali semangat kekeluargaan.

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan


Demokrasi Berbagi
Senin, 14 Juni 2010 | 03:37 WIB


Oleh Roby Muhamad
Alasan yang mendukung sistem demokrasi seringnya mengacu pada superioritas nilai-nilai yang dianggap mendasari demokrasi, seperti kebebasan, kesetaraan, dan pluralisme.

Tanpa menafikan pentingnya nilai-nilai tersebut, perlu juga kita pikirkan alasan lebih praktis mengapa demokrasi merupakan sistem terbaik untuk memecahkan masalah di era global. Wajar kita bertanya bagaimana demokrasi mampu mengelola keragaman yang begitu tinggi yang dimiliki Indonesia dan membuat keragaman jadi kekuatan utama bangsa? Jika memang mampu, lalu bagaimana caranya?

Secara konseptual, tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana mengelola keragaman. Keragaman perlu dikelola untuk menekan konflik dan yang lebih penting adalah pemanfaatan keragaman untuk menyelesaikan berbagai masalah. Keragaman adalah modal utama bangsa untuk sintas dalam dunia global yang semakin terkoneksi satu sama lain. Globalisasi memberikan dampak positif dan negatif, tetapi yang pasti globalisasi meningkatkan ketidakpastian.

Ketidakpastian muncul dari terbentuknya koneksi-koneksi baru sehingga apa yang terjadi di tempat lain akan dengan cepat terasa efeknya oleh kita. Efek jejaring inilah yang meningkatkan ketidakpastian. Akibatnya, perubahan terjadi dengan cepat sehingga solusi terbaik saat ini akan cepat kedaluwarsa.

Membangun relasi
Keragaman adalah senjata utama menghadapi dunia yang cepat berubah. Dengan adanya keragaman, kita bisa mendapatkan dua hal. Pertama, keragaman memungkinkan kita untuk mencoba banyak ide secara simultan dan cepat menemukan solusi. Kedua, karena di era global dunia berjalan begitu cepat sehingga solusi suatu masalah cepat menjadi usang, keragaman menjamin adanya regenerasi ide sehingga ide-ide baru selalu muncul.

Keragaman ini harus dikelola dan tak dilepaskan begitu saja pada ”mekanisme pasar”. Mekanisme pasar memiliki kecenderungan melakukan segmentasi yang berujung pada individualisme. Kebebasan individulah yang mendasari kompetisi pasar. Sayangnya, individualisme ini cenderung melemahkan demokrasi. Dalam demokrasi praktis, individu hanya memiliki arti politis jika ia berkelompok.

Tidaklah heran ketika Tocqueville yang mengamati demokrasi di Amerika pada abad ke-19 mengatakan, dalam demokrasi, pengetahuan untuk membuat kombinasi atau relasi adalah ibu dari segala pengetahuan, yang lain hanyalah turunan dari pengetahuan relasional tersebut. Artinya, demokrasi hanya berjalan baik jika kita tahu bagaimana membangun relasi-relasi yang bermanfaat dan bermakna. Membangun relasi ini dilakukan dengan berbagi, bukan semata-mata hanya dari kompetisi.

Berbagi adalah perilaku tradisional yang kembali bergaung kuat di abad ke-21 karena teknologi internet. Basis data pengetahuan terbesar di dunia, Wikipedia, dibangun dengan semangat berbagi. Inovasi terkini teknologi digital berkisar sekitar usaha agar orang dapat lebih mudah berbagi dalam media sosial. Yang utama di sini bukanlah mencari alasan kenapa orang berbagi. Orang berbagi bisa karena muncul dari altruisme atau egoisme. Yang penting di sini bukanlah mengenai motivasi berbagi, melainkan adanya sistem yang memudahkan orang untuk berbagi.

Namun, keragaman juga tak dapat dikontrol secara terpusat karena justru akan menghilangkan keragaman itu sendiri. Yang bisa dilakukan, mengelola keragaman melalui desentralisasi. Jika kita pakai asumsi bahwa orang yang paling mengerti masalah adalah orang yang mengalami masalah itu sendiri, maka yang bisa memecahkan masalah lokal hanya masyarakat lokal sendiri.

Desentralisasi artinya memberikan inspirasi bagi masyarakat lokal untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Pusat membantu dengan membuat sistem yang membuat lokalitas dapat saling berbagi pengalaman dan belajar memecahkan masalah. Misalnya, dengan membentuk jejaring peer group yang dinamis.

Desentralisasi tidak sama dengan kecilnya peran pemimpin. Desentralisasi memberi arti baru bagi kepemimpinan. Dalam sistem terdesentralisasi tantangannya adalah menciptakan cascade of leadership sehingga kepemimpinan terdistribusi dari level tertinggi hingga individu. Faktor penting untuk menciptakan kepemimpinan yang terdistribusi adalah perlunya tipe pemimpin inspirator yang mampu memberikan inspirasi bagi bawahannya untuk jadi pemimpin di lingkup dia sendiri. Contoh sukses organisasi politik yang mampu mendistribusikan kepemimpinan adalah organisasi kampanye Barack Obama. Obama tentunya seorang pemimpin karismatik. Namun, karisma saja tidak cukup.

Demokrasi praktis
Seperti dikatakan ahli strategi utama Obama yang juga dosen di Universitas Harvard, Marshall Ganz, keberhasilan Obama banyak berutang dari sistem organisasi yang dibangun, di mana meskipun Obama tetap memegang kendali utama, dibentuk organisasi dengan disiplin tinggi yang mendistribusikan kepemimpinan sampai tingkat terendah. Organisasi ini dibangun bukan sekadar untuk mereplikasikan ide dan narasi Obama, melainkan lebih untuk memunculkan narasi personal yang muncul dari bawah yang terus bergulir membentuk gerakan akar rumput.

Yang menjadi lawan kepemimpinan inspiratif adalah feodalisme. Feodalisme memberikan insentif bagi individu untuk menghamba dan mematikan kreativitas untuk memecahkan masalah. Feodalisme mendorong kelompok lokal lebih berusaha menyenangkan atasan daripada menyelesaikan masalah di bawah. Mengabaikan pemberdayaan lokal dapat jadi bumerang.

Sebagai contoh, Partai Republik di AS yang terbiasa melaksanakan sistem top-down pun sekarang ini mulai menggarap dukungan akar rumput. Partisipasi akar rumput adalah kekuatan terbesar demokrasi sekaligus legitimasi tertinggi. Sudah saatnya kita serius berusaha membuat demokrasi berjalan baik secara praktis; tidak hanya memuja-muja nilai demokrasi itu saja.

Untuk mencapainya, menciptakan sistem yang mempermudah individu dan kelompok saling berbagi sehingga terjadi saling belajar yang menghasilkan inovasi menjadi penting. Konsisten terhadap desentralisasi dan kepemimpinan inspiratif yang tidak feodal dan melampaui figurisme menjadi syarat utamanya.

Roby Muhamad Dosen Fakultas Psikologi UI





Lingkungan dan Kapitalisme
Oleh : 


ARIAnto Sangaji Kandidat PhD Department of Geography York University Toronto, Kanada



Ada dua hal yang saling berhubungan secara global yang memerlukan perhatian khusus, yakni lingkungan hidup dan kapitalisme. Isu perubahan iklim jelas-jelas menunjukkan itu.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007) memberikan indikasi bahwa aktivitas manusia—terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan di bidang pertanian— menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca dan berakibat pada pemanasan global.

Namun, IPCC tidak (mau) menyebut kapitalisme, sistem yang mewadahi aktivitas-aktivitas itu, sebagai akar masalah. Padahal, sangat mudah memahami soal lingkungan global ini dari proses produksi dan sirkulasi komoditas yang sarat beban lingkungan sejak skala paling lokal.

Sosiolog John Bellamy Foster menyatakan, problem planet ini bukan berakar pada alam, melainkan pada struktur relasi masyarakat, khususnya bagaimana masyarakat diorganisasikan dalam hubungan dengan alam. Dalam kritiknya terhadap kapitalisme, dia menyatakan krisis ekologi adalah buah dari penghambaan terhadap akumulasi.

Dua karakter
Sekurangnya ada dua argumentasi melandasi anggapan tentang masalah lingkungan hidup tertanam di dalam kapitalisme. Pertama, dengan berbasis kompetisi, karakter utama sistem ini adalah perlombaan produksi komoditas semurah mungkin, di mana sumber daya alam disubordinasikan ke dalam logika ini. 

Tidak heran eksploitasi dan karenanya destruksi terhadap alam (dan juga buruh) menjadi keharusan.
Karakter kedua sistem ini adalah keharusan akumulasi tanpa batas melalui ekspansi spasial yang progresif. Korporasi-korporasi transnasional bergerak leluasa melintasi tembok-tembok negara untuk mengonversi permukaan bumi untuk industri ekstraktif. Pada masa lalu, praktiknya melalui kolonialisme, dan dalam 40 tahun terakhir, berlangsung di bawah rubrik neoliberalisme. Bukan saja sebagai class project’, tetapi juga sebagai ecology project , seperti disebut ahli geografi Jasson W Moore (Ecology & the Accumulation of Capital), neoliberalisme mempercepat perusakan lingkungan dengan dampak multi-skalar, dari lokal ke global.

China merupakan contoh terang. Pertumbuhan luar biasa setelah menerapkan ekonomi pasar, dicapai berkat ongkos produksi rendah, melalui eksploitasi buruh murah yang melimpah ruah dan mengabaikan lingkungan hidup. Sejumlah pengamat memprediksi, dengan terus mempertahankan model pertumbuhan ekonomi tidak berkelanjutan seperti sekarang, dalam waktu tidak lama China bakal terperangkap krisis energi, kemerosotan drastis produksi bahan pangan, dan bencana alam dahsyat.

Indonesia

Ekonomi politik krisis lingkungan global menempatkan Indonesia pada isu deforestasi, isu yang multi-tafsir dalam penanganannya. Menurut PBB, deforestasi dan perusakan hutan setiap tahun menyumbang sekitar 20 persen emisi karbon secara global, dan Indonesia, salah satu pemilik hutan tropik terbesar di dunia, adalah penyumbang utama. Kementerian Kehutanan menyebut setiap tahun Indonesia kehilangan 1,17 juta hektar hutan (Kompas, 8/4/2010). Itulah kenapa pada akhir bulan lalu Presiden SBY membawa pulang 1 miliar dollar AS dari Norwegia setelah Konferensi Iklim dan Hutan untuk membenahi soal hutan di negeri ini.

Sementara pengkambinghitaman terhadap petani-petani subsisten pra-kapitalis sebagai perusak hutan akan menjadi sasaran program-program antideforestasi, perhatian sebaiknya diarahkan kepada konversi hutan dalam industrialisasi di sektor perkebunan (terutama kelapa sawit) untuk pasar global. Sektor ini tumbuh fantastis, justru setelah penerapan neoliberalisme sejak krisis kapitalisme Asia 1997, yang memberi jalan terinkorporasinya sektor ini ke dalam rezim industri pertanian dan makanan global yang terkonsentrasi dan monopolistik. Deforestasi dan degradasi alam yang meluas justru tertanam dalam struktur ini.

Termasuk ongkos lingkungan hidup yang kurang diperhatikan dari struktur ini adalah apa yang sekarang dipercakapkan sebagai food miles, yakni energi yang dikeluarkan untuk jarak tempuh bahan (baku) makanan yang ditransportasikan dari lokasi produksi paling hulu hingga ke mulut konsumen. Padahal, transportasi bahan baku dari negeri- negeri Selatan ke Utara yang meningkat tajam setelah industrialisasi pertanian/perkebunan melipatgandakan konsumsi bahan bakar fosil, salah satu sumber emisi gas rumah kaca.
Ledakan minyak sawit secara global dan sangat kompetitif terhadap minyak nabati lain, juga karena biaya produksinya 100 dollar AS per ton lebih murah. Dan faktor paling menentukan di baliknya adalah buruh murah dan kemudahan akses terhadap tanah dan hutan. Dengan kata lain, sukses industrialisasi dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia beralas eksploitasi alam dan buruh secara bersamaan, serta ditunjang atau didahului dengan salah satu bentuk akumulasi primitif, yakni perampasan tanah-tanah petani yang kerap berdarah-darah.

Bukan jalan keluar

Jalan keluar krisis lingkungan hidup global juga terkerangkeng dalam skema geopolitik kapitalisme. Protokol Kyoto jadi contoh terang bagaimana proses-proses negosiasi antarnegara berjalan alot dan mencapai kompromi- kompromi yang lunak karena kepentingan memajukan kapital. Jalan keluar yang ditawarkan lantas terintegrasi ke dalam logika pasar, seperti pada ide carbon trade, carbon offsets, dan carbon tax. Di Indonesia, program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), program kerja sama antara UNDP, FAO, dan UNEP untuk mengerem laju kerusakan hutan secara global menggambarkan itu.

Tanpa menyentuh akar masalah, yakni kontradiksi antara kapital dan alam, inisiatif-inisiatif di atas tidak lebih sebagai siasat para baron karbon saja. Apa pun programnya, tidak menyelesaikan krisis, kecuali mengakui proses-proses perusakan lingkungan hidup sebagai problem yang tertanam dalam kapitalisme. Dengan kata lain, mengabaikan aspek ekonomi politik ini dalam rencana aksi adalah bukan jalan keluar. Oleh karena itu, ikhtiar memajukan lingkungan hidup global yang sehat harus dimulai bersamaan dengan memajukan sebuah tatanan masyarakat global yang adil, tanpa eksploitasi.