"Tak ada yang bisa memastikan bisnis kita akan tetap sama 5 tahun ke depan. Tak ada yang abadi. Akan ada masalah yang ditemui di tengah perjalanan wirausaha. Pilihannya 2, apakah akan jadi telur, atau bola tenis," ujar Rhenald dalam Seminar Wanita Wirausaha BNI dan Femina bertajuk Inspirasi Wirausaha 'Tren, Peluang & Tantangan Usaha 2010' di Ballroom Hotel Novotel Jalan Cihampelas, Sabtu (3/7/2010).
Dijelaskan Rhenald, jika seorang entrepreneur berjiwa telur, maka saat menghadapi masalah berat ia akan cenderung kalah dan menyerah. Sementara yang bermental bola tenis, ia akan senantiasa kembali ke atas untuk tetap mempertahankan usahanya.
..........................hemm, sekali lagi saya tidak merasa kesepian lagi. Kali ini, soal 'belajar' dari tennis, dan teman pemikiran kali ini - Rhenald Kasali. Kalau hanya contoh 'bouncing' saja, kenapa bola tennis yang harus jadi contoh?
Bola apa saja, saya kira juga mem-bouncing, bola-sepak misalnya, apalagi sekarang lagi heboh World/FIFA Cup?
Mengapa harus Wimbledon yang dijadikan contoh, sehingga saya merasa tak sendiri, mengarahkan pandangan lebih intens, mencari inspirasi/'belajar berbagai hal' justru ke Inggris Raya, Wimbledon 2010
Tadinya perasaan ini demikian gundah, lantaran Wimbledon besok , berakhir, 4 Juli. Entah siapa yang bakal mengangkat Piala Wimbledon menggantikan Federer tahun ini. Nadal yang asal Spanyol atau Berdych asli Czech Republic.
Kalau Nadal juara di Wimbledon, dan FIFA world cup ditangan Spanyol, notes saya ini lebih justified, walaupun 'point'nya tidak disana. (ketika menulis, Spanyol sdg menghadapi Paraguay).
Saya sangat setuju seperti kata Rhenal Kasali, bahwa wirausahawan itu harus seperti bola tennis, membal. Cuma menurut saya bukan sekedar membal-nya saja, bola tennis itu tidak seperti bola sepak yang dalam pertandingan formalnya selalu 'membal' diatas rumput.
Bola tennis dalam formal pertandingannya 'membal' diatas lantai keras, karpet, tanah liat dan rumput (Wimbledon). Pantulan diatas lapangan dari 4 jenis itu mengajarkan bahwa berbinis itu juga bersentuhan dengan BUDAYA setempat.
Strategi bisnis itu kemudian juga harus selaras/memperhitungkan budaya setempat. Tidak selalu strategi di 'lapangan' Amerika cocok begitu saja untuk 'lapangan' Indonesia, betawi, sunda, jawa, papua........
Adalagi hal istimewa dari bola-tennis, tak sekedar 'bouncing'/membal saja, sebelum dan sesudah membal itu bola tennis juga berputar, dimana putaran sebelum menyentuh lantai itu (flat-slice-atau berbagai spin) menghasilkan putaran tertentu bergantung dari jenis-lantainya.
Rumit? itulah tennis, dan karenanya kita bisa belajar banyak dari sana. Kesuksesan dalam tennis adalah jika bola kita membal dihadapan lawan dan tak bisa dikembalikan dgn sempurna (unforce error) shg kita mendapat point. Dalam bisnis, kalaupun kita harus membal, perlu disiapkan putaran seperti apa sebelum membal, yang bisa menghasilkan poin dari 'lapangan' atau budaya-setempat.
Point paling elegan dari pemain tennis adalah ketika dia bisa mencetak 'winner', yaitu suatu kondisi dimana bola tennis membal dan 'sama sekali tidak terjangkau/tersentuh' oleh lawan.
Dalam bisnis, ini sama dengan 'blue ocean' strategy, atau pendakian 'bukit-lain' dari Sun Szu. Kita menang, dapat point, tanpa harus lawan luka (berdarah-darah), shg 'pertandingan' bisa dilanjutkan, dan oleh karena itu kita dan lawan menjadi sehat karena terus berolah raga.
Terakhir, dan inilah topik-diskusi PANAS saya dengan anak-saya yang gila-bola (world cup). Saya katakan, bahwa bola-tennis itu mengajarkan PENINGKATAN KEMAMPUAN INDIVIDUAL (KEMANDIRIAN) lebih baik dari BOLA-SEPAK. Lho, koq bisa, bola-sepak is the best, kata anak saya, pokoknya.....olleee...ole...ole...ole
Alle...VAMOS.....Come-On....begini, kemampuan sebagai pemain-bola(sepak) itu kan ditentukan oleh bagaimana pemain itu 'mengolah' bola bukan? Betul, kata anak saya. Lha berapa lama, seorang pemain-bola itu mengolah bola, pada saat bertanding selama 90(sembilan puluh) menit? Agak bengong sebentar, untungnya anak saya lumayan pandai 'berhitung/matematika/statistik'......hemmm, KURANG DARI 5(lima) menit rata-rata (selebihnya, 85 menit lainnya, lari-lari), hasil dari 90 menit dibagi jumlah pemain dilapangan 22 (dua puluh dua).
Nah sekarang bandingkan dengan berapa lama pemain-tennis 'mengolah' bola, pemain cewek saja kalau single dan tanding berjalan straight-set, akan mengolah bola selama 90 (sembilan puluh) MENIT sampai 120 (seratus dua puluh) MENIT, krn bola-tennis itu bergerak dengan kecepatan 100-200 km/jam dari raket para pemain kelas dunia dan lapangan hanya sepanjang 16 meter.[ Wimbledon 2010, mencatatkan rekor bermain tennis terpanjang, 11 jam 5 menit, partai Isner & Mahut]
Selain itu, tennis tidak memberi kesempatan sorang pemainpun (dalam double) untuk jadi FREE-RIDER. Krn begitu dia INFERIOR dibanding pasangannya, maka bola-tennis dari lawan akan mengarah kepadanya, maka dia harus mati-matian/bekerja lebih keras dari pasangannya untuk menjangkau-mengembalikan-mematikan lawan.
Konteknya dalam kehidupan berbangsa-bernegara adalah mustahil negara itu akan jaya dan mensejahterakan rakyatnya, jika tidak mentradisikan sistem untuk 'meningkatkan kemampuan warga bangsanya', dan meniadakan kesempatan berbagai pihak untuk jadi FREE-RIDER dalam perjuangan bangsa.
FREE RIDER itu 'pemakan hak orang lain' adalah koruptor-koruptor, pengemplang pajak, birokrat yang hanya mengamankan jabatannya, kader partai/anggota ormas penggembira, pengusaha yang sekedar 'hidup dari' kota&negaranya-tanpa usaha 'menghidupi' tanah airnya, manajer-manajer yang tak kompeten, pegawai yang hanya 'bergunjing-politicking' dikantor
Indonesia, punya sistim kelola-negara yang tidak saja permisif terhadap FREE-RIDER, bahkan sudah DUKUASAI para FREE-RIDER itu, heran? saya kira tidak perlu, karena sebagian dari bangsa ini adalah keturunan KEN AROK, yang katanya TEGA membunuh PRODUSEN KERIS 'pesanan'nya yang AMPUH itu, bernama EMPU GANDRING.
Dalam situasi tersebut, TOTAL FOOTBALL tak akan EFEKTIF, MAN TO MAN MARKING kehilangan taji, karena KEMAMPUAN INDIVIDU bukan jadi PRIORITAS ORIENTASI PEMBINAAN/PENGHARGAAN, operasionalisasi strategi yang hanya menyuburkan para FREE-RIDER, mustahil tim apapun, bahkan bangsa ini menjadi PEMENANG (baca : bermartabat).
Frustasi? tidak perlu, mari kita KEMBANGKAN sendiri, TRADISI untuk memiliki kemampuan PARIPURNA dengan selalu menempa diri, menggembleng diri terus-menerus......Soekarno berpidato : digembleng...hampir hancur lebur, bangun kembali...digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali....DIGEMBLENG
[ tiada pengkabar KEBENARAN DIDUNIA ini yang SERTA MERTA diamini UMMAT, ada yg DILUDAHI-DILEMPARI BATU awalnya, bahkan ada yang harus diSALIB, diPENGGAL kepalanya, kendati yang dia kabarkan KEBENARAN ]
Dalam mentradisikan diri itu, saya memilih belajar main tennis.....Kalau teman-teman?
SALAM INDONESIA : MAKMUR !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar