stay tune @ 'green' GrandSlam

stay tune @ 'green' GrandSlam
JUN 21 - JUL 4

Kamis, 08 Juli 2010

Bisnis & Bola Tennis

Pakar Bisnis Rhenald Kasali mengatakan seorang wirausaha harus bisa seperti bola tenis.


"Tak ada yang bisa memastikan bisnis kita akan tetap sama 5 tahun ke depan. Tak ada yang abadi. Akan ada masalah yang ditemui di tengah perjalanan wirausaha. Pilihannya 2, apakah akan jadi telur, atau bola tenis," ujar Rhenald dalam Seminar Wanita Wirausaha BNI dan Femina bertajuk Inspirasi Wirausaha 'Tren, Peluang & Tantangan Usaha 2010' di Ballroom Hotel Novotel Jalan Cihampelas, Sabtu (3/7/2010).


Dijelaskan Rhenald, jika seorang entrepreneur berjiwa telur, maka saat menghadapi masalah berat ia akan cenderung kalah dan menyerah. Sementara yang bermental bola tenis, ia akan senantiasa kembali ke atas untuk tetap mempertahankan usahanya.

..........................hemm, sekali lagi saya tidak merasa kesepian lagi. Kali ini, soal 'belajar' dari tennis, dan teman pemikiran kali ini - Rhenald Kasali. Kalau hanya contoh 'bouncing' saja, kenapa bola tennis yang harus jadi contoh?

Bola apa saja, saya kira juga mem-bouncing, bola-sepak misalnya, apalagi sekarang lagi heboh World/FIFA Cup?

Mengapa harus Wimbledon yang dijadikan contoh, sehingga saya merasa tak sendiri, mengarahkan pandangan lebih intens, mencari inspirasi/'belajar berbagai hal' justru ke Inggris Raya, Wimbledon 2010

Tadinya perasaan ini demikian gundah, lantaran Wimbledon besok , berakhir, 4 Juli. Entah siapa yang bakal mengangkat Piala Wimbledon menggantikan Federer tahun ini. Nadal yang asal Spanyol atau Berdych asli Czech Republic.

Kalau Nadal juara di Wimbledon, dan FIFA world cup ditangan Spanyol, notes saya ini lebih justified, walaupun 'point'nya tidak disana. (ketika menulis, Spanyol sdg menghadapi Paraguay).

Saya sangat setuju seperti kata Rhenal Kasali, bahwa wirausahawan itu harus seperti bola tennis, membal. Cuma menurut saya bukan sekedar membal-nya saja, bola tennis itu tidak seperti bola sepak yang dalam pertandingan formalnya selalu 'membal' diatas rumput.

Bola tennis dalam formal pertandingannya 'membal' diatas lantai keras, karpet, tanah liat dan rumput (Wimbledon). Pantulan diatas lapangan dari 4 jenis itu mengajarkan bahwa berbinis itu juga bersentuhan dengan BUDAYA setempat.

Strategi bisnis itu kemudian juga harus selaras/memperhitungkan  budaya setempat. Tidak selalu strategi di 'lapangan' Amerika cocok begitu saja untuk 'lapangan' Indonesia, betawi, sunda, jawa, papua........

Adalagi hal istimewa dari bola-tennis, tak sekedar 'bouncing'/membal saja, sebelum dan sesudah membal itu bola tennis juga berputar, dimana putaran sebelum menyentuh lantai itu (flat-slice-atau berbagai spin) menghasilkan putaran tertentu bergantung dari jenis-lantainya.

Rumit? itulah tennis, dan karenanya kita bisa belajar banyak dari sana. Kesuksesan dalam tennis adalah jika bola kita membal dihadapan lawan dan tak bisa dikembalikan dgn sempurna (unforce error) shg kita mendapat point. Dalam bisnis, kalaupun kita harus membal, perlu disiapkan putaran seperti apa sebelum membal, yang bisa menghasilkan poin dari 'lapangan' atau budaya-setempat.

Point paling elegan dari pemain tennis adalah ketika dia bisa mencetak 'winner', yaitu suatu kondisi dimana bola tennis membal dan 'sama sekali tidak terjangkau/tersentuh' oleh lawan.

Dalam bisnis, ini sama dengan 'blue ocean' strategy, atau pendakian 'bukit-lain' dari Sun Szu. Kita menang, dapat point, tanpa harus lawan luka (berdarah-darah), shg 'pertandingan' bisa dilanjutkan, dan oleh karena itu kita dan lawan menjadi sehat karena terus berolah raga.

Terakhir, dan inilah topik-diskusi PANAS saya dengan anak-saya yang gila-bola (world cup). Saya katakan, bahwa bola-tennis itu mengajarkan PENINGKATAN KEMAMPUAN INDIVIDUAL (KEMANDIRIAN) lebih baik dari BOLA-SEPAK. Lho, koq bisa, bola-sepak is the best, kata anak saya, pokoknya.....olleee...ole...ole...ole

Alle...VAMOS.....Come-On....begini, kemampuan sebagai pemain-bola(sepak) itu kan ditentukan oleh bagaimana pemain itu 'mengolah' bola bukan? Betul, kata anak saya. Lha berapa lama, seorang pemain-bola itu mengolah bola, pada saat bertanding selama 90(sembilan puluh) menit? Agak bengong sebentar, untungnya anak saya lumayan pandai 'berhitung/matematika/statistik'......hemmm, KURANG DARI 5(lima) menit rata-rata (selebihnya, 85 menit lainnya, lari-lari), hasil dari 90 menit dibagi jumlah pemain dilapangan 22 (dua puluh dua).

Nah sekarang bandingkan dengan berapa lama pemain-tennis 'mengolah' bola, pemain cewek saja kalau single dan tanding berjalan straight-set, akan mengolah bola selama 90 (sembilan puluh) MENIT sampai 120 (seratus dua puluh) MENIT, krn bola-tennis itu bergerak dengan kecepatan 100-200 km/jam dari raket para pemain kelas dunia dan lapangan hanya sepanjang 16 meter.[ Wimbledon 2010, mencatatkan rekor bermain tennis terpanjang, 11 jam 5 menit, partai Isner & Mahut]




Selain itu, tennis tidak memberi kesempatan sorang pemainpun (dalam double) untuk jadi FREE-RIDER. Krn begitu dia INFERIOR dibanding pasangannya, maka bola-tennis dari lawan akan mengarah kepadanya, maka dia harus mati-matian/bekerja lebih keras dari pasangannya untuk  menjangkau-mengembalikan-mematikan lawan.

Konteknya dalam kehidupan berbangsa-bernegara adalah mustahil negara itu akan jaya dan mensejahterakan rakyatnya, jika tidak mentradisikan sistem untuk 'meningkatkan kemampuan warga bangsanya', dan meniadakan kesempatan berbagai pihak untuk jadi FREE-RIDER dalam perjuangan bangsa.

FREE RIDER itu 'pemakan hak orang lain' adalah koruptor-koruptor, pengemplang pajak, birokrat yang hanya mengamankan jabatannya, kader partai/anggota ormas penggembira, pengusaha yang sekedar 'hidup dari' kota&negaranya-tanpa usaha 'menghidupi' tanah airnya, manajer-manajer yang tak kompeten, pegawai yang hanya 'bergunjing-politicking' dikantor

Indonesia, punya sistim kelola-negara yang tidak saja permisif terhadap FREE-RIDER, bahkan sudah DUKUASAI para FREE-RIDER itu, heran? saya kira tidak perlu, karena sebagian dari bangsa ini adalah keturunan KEN AROK, yang katanya TEGA membunuh PRODUSEN KERIS 'pesanan'nya yang AMPUH itu, bernama EMPU GANDRING.

Dalam situasi tersebut, TOTAL FOOTBALL tak akan EFEKTIF, MAN TO MAN MARKING kehilangan taji, karena KEMAMPUAN INDIVIDU bukan jadi PRIORITAS ORIENTASI PEMBINAAN/PENGHARGAAN, operasionalisasi strategi yang hanya menyuburkan para FREE-RIDER, mustahil tim apapun, bahkan bangsa ini menjadi PEMENANG (baca : bermartabat).

Frustasi? tidak perlu, mari kita KEMBANGKAN sendiri, TRADISI untuk memiliki kemampuan PARIPURNA dengan selalu menempa diri, menggembleng diri terus-menerus......Soekarno berpidato : digembleng...hampir hancur lebur, bangun kembali...digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali....DIGEMBLENG
[ tiada pengkabar KEBENARAN DIDUNIA ini yang SERTA MERTA diamini UMMAT, ada yg DILUDAHI-DILEMPARI BATU awalnya, bahkan ada yang harus diSALIB, diPENGGAL kepalanya, kendati yang dia kabarkan KEBENARAN ]

Dalam mentradisikan diri itu, saya memilih belajar main tennis.....Kalau teman-teman?

SALAM INDONESIA : MAKMUR !

Kirab / Karnaval di SOLO

Persoalan Kirab atau Karnaval dan penonton sepanjang Jln Slamet Riyadi Solo sudah saya sadari sejak saya pulang kampung di kota ini 7(tujuh) taun lalu, tepatnya pertengahan tahun 2003, atau 2(dua) tahun sebelum pak Jokowi memimpin Pemkot Surakarta.

Solusinya sudah saya usulkan 2(dua) tahun lalu, yaitu dalam rangkaian event yang dipercayakan kepada saya, International Keroncong Festival 2008, tepatnya Kirab Keroncong Pusaka. Namun karena 'energi warga kota' via APBDnya hanya sekitar 25% dari anggaran yang saya rencanakan untuk merealisasi solusi itu, terpaksalah Kirab Keroncong Pusaka itu saya amputasi dari International Keroncong Festival 2008.

Apalagi ada komunitas-keroncong yang justru tidak mendukung Kirab Keroncong Pusaka ini, mereka berpendapat seluruh anggaran itu, yang notabene 'uang rakyat Solo' dan harus kembali ke 'rakyat Solo' plus bonus-2nya kalau bisa, adalah mutlak HAKnya ORANG KERONCONG, ngapain buat Kirab Keroncong Pusaka segala, ngapain buat Penari Keroncong, ngapain buat Seminar Batik Corak Pamor Keris sebagai kostum penari Keroncong,ASTAGA............

Ketika puluhan tahun saya meninggalkan Kota Solo dan kemudian kembali, saya langsung menandai suatu tradisi yang dimiliki kota ini, unik dan karena itu MUSTAHIL untuk disamai oleh kota lain di Indonesia, yaitu tradisi kirab atau karnaval itu, lewat 'Jl Slamet Riyadi' yg lurus-lebar-panjang & ada rel-kereta yg masih berfungsi pula.

Waktu itu, tahun 2003, kirab atau karnaval tidak disaksikan oleh warga kota sebanyak seperti yang terakhir diselenggarakan, Solo Batik Carnival III.

Terdorong untuk MEMPROMOSIKAN 'media radio' yang saya pimpin kepada kawan-kawan Advertising Agency di Jakarta, yang sering melihat daerah yang bukan ibukota propinsi itu secara 'geo-administrasi', maka mengeksploitir 'pembeda' kota dan berimpact luas menjadi keniscayaan. Sehingga 'uang Jakarta' bisa mengalir lebih deras ke Solo, dalam bentuk billing-iklan-radio, yang tentu saja akan mengGEMUKkan perekonomian Kota Solo.

Saya ingat betul bagaimana 'media radio' yang saya pimpin memberi support suatu kirab kali yang PERTAMA, bahkan sebelum bangunan studio media-radio ini dibangun apa lagi beroperasi siaran, yaitu Kirab 12(dua belas) Putri penerima penghargaan dari Keraton Surakarta Hadiningrat.

Waktu itu kirabnya menggunakan Kereta-2 Keraton, tidak heran karena Pimpinan Kirab sekaligus Pimpinan Penyelenggara adalah Gusti Dipokusumo -Putra Raja Pakubuwono XII (Alm.), adik Raja Pakubuwono XIII-, temen sekolah SMAN-I Solo dulu, sekarang temen main tennis. 

"Media Radio" saya memberi sedikit 'kehebohan' dibelakang Kirab tersebut, dan sebagai 'imbalan'nya 'media radio' saya boleh 'beriklan' di body mobil yang dipinjam dari Tim SAR UNS, maklum belum punya 'OB Van'/'Official Car' waktu itu, sekedar untuk memperkenalkan Logo Radio (tersimpan makna visi saya tentang kota Solo) dan misi media-radio : "KEEP SOLO COMFORT"

Imbalan lainnya, Gusti Dipokusumolah yang bersedia memimpin Kirab Tumpeng 'media radio' saya dari studio yang masih dalam tahap pembangunan (baru 25%anlah) ke area Lapangan Tennis Manahan, kali ini dengan jalan kaki, serta memotong tumpeng ditengah lapangan tennis Manahan, tepatnya lapangan no 3 dari 9(sembilan) lapangan yg ada di area itu, sebagai penanda dimulainya secara resmi siaran 'media radio' ini, 9-9-2003, dan 'mengumandanglah' dengan frekuensi tinggi "keep solo comfort" dari jingle radio.

Sejak saat itu, 'media radio' saya keranjingan konvoi-kirab atau karnaval, demi sosialisasi visi-misi kami untuk kota Solo, mengingat pada awal-awal siaran kami baru menggunakan 10% power dari yang semestinya ditetapkan UU Penyiaran.

Untungnya saya bisa 'ngompori' merek-merek operator selular serta berbagai lembaga dan komunitas  untuk 'peduli kota' seperti 'media-radio' saya itu, serta menggunakan 'metode : kirab/karnaval/konvoi', mengingat saya sadar, media-radio saya masih beberapa bulan mengudara, pakai power yang hanya 10%.

2004.
Selama 2004, seingat saya 'media radio' saya memprakarsai beberapa kirab/konvoi mandiri dan support promosi & reportase 'pawai pembangunan' (acara tahunan Pemkot) serta Kirab Pusaka 1 Syura (Keraton & Mangkunegaran). Praktis itu yang bisa dilakukan mengingat 'kemampuan' kami sebagai 'warga baru' di Kota Solo, walaupun di beberapa konvoi kami beri sentuhan 'beda' agar warga kota penasaran untuk mengapresiasinya di Jl Slamet Riyadi tersebut.

Konvoi 'Seiring Merangkai Potensi', bersama, Indosat, memakai seluruh official-car Indosat.
Konvoi "tennis prestasi', bersama Pelti-Solo, memakai berpuluh andong dan mengkirabkan Winny Prakusya serta peserta Solo Open 2004.
Konvoi "Prestasi Lagi", bersama XLcomindo, memakai Andong + komunitas motor surakarta, mengkirabkan finalis futsal se Surakarta

2005
Gairah masyarakat untuk datang memberi apresiasi terhadap Kirab/Konvoi/Karnaval meningkat seiring dengan makin banyaknya pendengar 'media radio' saya tersebut. Pada tahun ini pula media-radio saya memiliki 'OB Van plus' yang diberi nama 'm-Stage' (mobile Stage -panggung di era mobile). Ini 'OB Van' yang dalam tempo 5(lima) menit bisa disulap menjadi panggung mini dengan 'sistim full hidrolik'.

Kendaraan tersebut diatas memberi inspirasi saya pula untuk sebuah solusi masalah Kirab dan Penonton yang membludak.

Peran pertama mobil ini dalam kirab adalah sebagai pos-aspresiasi-kirab. Seminggu sebelum acara, 'media radio' saya gembar-gembor diudara agar pendengar (yg kami sebut 'solo lovers') datang di sekitar 'm-stage', karena akan ada atraksi menarik ("Semar Kembar Sembilan"-karyawan 'media-radio', laki perempuan, dandan wayang atau bukan, berjumlah sembilan orang, bermake-up sama sebagai SEMAR), juga akan ada kuis bagi pendengar yang berada di sekitar 'm-stage'. Selama Kirab melintas didepan 'm-stage', Semar-Semar itu menyapa dan memberi semangat peserta kirab, serta mengajak penonton sekitar 'm-stage' untuk memberi applause kepada peserta.

Kejadian diatas adalah beberapa bulan sebelum Pilkada langsung di Kota Solo, yang menhasilkan pasangan Jokowi+Rudy memimpin Pemkot Solo periode 2005-2010.

Beberapa hari setelah pelantikan Walikota & Wakil Walikota Solo, Bapak Jokowi & Bapak Rudy harus bertindak sebagai Inspektur Kirab (?) dalam pawai pembangunan. Sementara itu, saya meneruskan tradisi mengeksplorasi keunikan kota Solo, yaitu Kirab/Karnaval/Konvoi lewat Jl Slamet Riyadi ini, agar  Kota Solo 'terlihat' segala potensi yang sejatinya sangat luar biasa. Namun, apakah harus jadi 'penggembira' saja dipinggir jalan seperti diatas.? Tidak, 'media radio' saya harus bisa memberi inspirasi elemen masyarakat yang lain untuk juga 'nguri-uri' kota Solo, sebagai pengejawantahan kecintaan pada kota ini. Lalu Bagaimana?

Untungnya lagi saya ketemu dengan kenalan yang 'gila peduli kota' juga, Mas Mayor Haristanto, beberapa hari (3?) sebelum pawai pembangunan tersebut diatas. Ngobrol diruang kantor saya memunculkan ide, untuk memberi highlight Jl Slamet Riyadi Solo itu jalan yang tiada-duanya di Indonesia, yaitu keberadaan rel-kereta di sisi selatan, yang masih berfungsi (dua kali per hari dilalui kereta jurusan Solo-Wonogiri).

Caranya, ikut pawai-pembangunan tersebut dengan memanfaatkan kereta-api, tepatnya gerbong kereta yang biasa dipakai mengangkut kayu gelondongan, ditarik lokomotif yang biasa dipakai inspeksi keadaan rel, dan diatas gerbong diisi atraksi band.

Saya dan Mas Mayor Haristanto berbagi tugas. Mas Mayor menghubungi pihak Setasiun Solo Balapan untuk kerjasama pengadaan gerbong dan lokomotifnya serta 'acara upacara' nanti kalau melintas didepan Walikota Baru itu. Sementara saya bertugas untuk mengisi 'atraksi' diatas gerbong tersebut serta mencari penyandang dana operasi ini. Kebetulan 'brand Indosat' pada waktu itu masih 'rada gila peduli kota' juga, sehingga langsung mensupport biaya operasi ini, sedangkan 'atraksi'nya kami mendapat dukungan dari beberapa band-indie Solo, yang selama ini sudah 'berteman' dengan 'media radio' saya.

Jrenggggg.......itulah peristiwa pertama sepanjang sejarah Kota Solo, juga berarti sepanjang sejarah Kota-kota di Indonesia (dunia? walahualam), pawai/kirab/karnaval......dibuka dengan kereta api beratraksi, sehingga penonton hepi. Apa acara ini berkesan bagi Bapak Jokowi? Saya yakin iya,  mengingat ini kali pertama beliau menerima peserta pawai-pembangunan, kedua,  saat itu oleh Mas Mayor dan Pak Sutrisno (kepala setasiun Solo Balapan) beliau didaulat menjadi PPKA (petugas pemberangkatan kereta api) lengkap dengan topi-khusus dan peluit. priiiiiitttttt......maka melintaslah kereta api beraktraksi itu, mengawali pawai pembangunan kota Solo 2005.

Pelajaran yang bisa diambil dari sini berkaitan hubungan antara peserta+penonton adalah : penonton sisi selatan, karena ada Kereta Api lewat, justru tidak merangsek ketengah jalan Slamet Riyadi, sehingga karnaval/kirabnya relatif bisa dinikmati, selain penonton kirabnya masih sedikit lantaran ini acara rutin tahunan yang begitu-begitu saja (kurang waktu untuk promosi keberadaan kereta api-beratraksi dalam pawai), juga masa itu belum musim hp ber-kamera, jadi belum ada penonton bernafsu untuk mengabadikan event untuk di upload ke internet.

2006-2008
Singkatnya, media-radio saya selalu memberi contoh dalam menyajikan atraksi dalam pawai, dimana masing-masing pihak, penyaji dan penonton, sama-sama nyaman. Juga 'manajemen penonton' agar penonton tertib serta memberi apresiasi yang baik terhadap peserta karnaval, yaitu dengan metode 'membuka pos-apresiasi' dengan 'm-stage' tersebut diatas, serta memberi hiburan ketika peserta pawai belum lewat kepada penonton disekitar.


Nah, kembali pada solusi yang saya maksud di alinea pertama notes ini. Metode kirab 'Kirab Keroncong Pusaka' itu menggunakan trailer, sehingga peserta bisa melakukan atraksi diatas trailer itu sepuasnya, koreografernya juga sudah bisa mengantisipasi gerakan-gerakan seperti apa yang efektif di lahan (trailer) yang tersedia, sementara penonton yang ingin mengabadikan dari dekat peserta pawai juga terlaksana hajatnya, tanpa harus mengganggu penonton yang dibelakang taman-jalan sekalipun, karena mereka tetap bisa menikmati atraksi diatas trailer itu, seperti liat televisi dirumah saja, gambar dan pertunjukannya berganti, bisa dinikmati, tanpa harus bergeser kekanan atau kekiri.

Bahkan waktu itu, 2008, dengan terselenggaranya Kirab Keroncong Pusaka (bagian dari IKF 2008), dengan metode kirab seperti diatas, saya berharap Jl Slamet Riyadi itu menjadi panggung pertunjukan terpanjang/terluas didunia. Caranya? Yaitu dengan 'memandang' sepanjang jalan Slamet Riyadi menjadi satu-kesatuan. Secara teknologi, available !

Pada waktu itu, saya sudah berkordinasi dengan Dinas Perhubungan Kota Solo, pak Yusca, untuk menggunakan CCTVnya yang canggih itu, kamera bisa berputar 180 derajat, bisa melihat 'plat nomor' kendaraan yang sedang berada didepan trafict-light (bang jo). Sayangnya belum tersedia di setiap perempatan jalan Slamet Riyadi, dari Gedengan sampai Gladak, untuk itu saya telah menghubungi pak Dwi Heriyanto (GM Telkom Solo), saya tanya apa bisa Telkom bangun CCTV dititik2 dimana Dishub tidak bisa menjangkau, kemudian langsung meng-streaming ke Internet. Pak Dwi bilang, available juga tuh.

Supaya streaming-an CCTV Dishub Solo itu 'enak ditonton' lewat internet dari seluruh dunia (walau tanpa suara), saya juga menghubungi temen-temen komunitas film indie, agar bisa mengirim wakilnya bertindak sebagai art-director diruang CCTV-Room Dishub Solo.........yah, tapi ini semua tinggal rencana karena hal-hal di alienea2 awal notes ini.

Masih soal enak ditonton dari seluruh penjuru dunia, maka Kirab itu harus 'mbanyu mili' (jw:mengalir). Urusan seperti ini, pergerakan pasukan keahliannya temen-temen saya di TNI. Oleh karena itu saya telah berkoordinasi dengan Dandim 0735, Letkol Sadputro Adi Nugraha, tentara nasionalis sejati-nyeni-sekaligus 'gaul' abisss, sekarang Kasrem Salatiga.

Beliau telah bersedia untuk 'mengawal' Kirab Keroncong Pusaka dg menggerakan pasukannya, termasuk 'mengelola' 20 trailer, sejak penghiasan hingga show, tidak itu saja Beliau juga menyiapkan akan 'memamerkan' pusaka-modern yang dimiliki Kodim 0735 Warastatama dalam kirab tersebut. Maklum, berkaitan pula dengan HUT TNI

Membandingkan dengan solusi Bapak Jokowi dan teman-teman, untuk membangun tribun, kalau belum terlanjur ditetapkan, mangga dipenggalih ulang.

Menurut saya, solusi itu tidak mencukupi (bukan mengatasi masalah tanpa masalah), bahkan membawa luka-sosial. Pasalnya, segala hal yang terbatas dan punya pembatas selalu menimbulkan diskriminasi, dan inilah biang 'luka sosial'.

Seluruh biaya itu kan dari rakyat, mestinya seluruh rakyat mendapatkan haknya yang sama. Bahkan andaikata saja pembiayaan itu ada sumbangan dari swasta, inipun bukan lantas sebagai keuntungan penyelenggaraan yang bisa digunakan 'sak penake dewe', karena hakekatnya itu 'opportunity cost' dari rakyat, rejekinya rakyat Solo.

Apalagi kalau pembiayaan ada peran dari APBD Propinsi Jateng dan APBN, ini lebih berat, karena event itu harus bisa dipertanggung jawabkan tidak saja pada warga kota Solo, tapi juga rakyat Jawa tengah dan rakyat Indonesia.

Mangga......dipun galih (Jw : Mohon Dipertimbangkan).