stay tune @ 'green' GrandSlam

stay tune @ 'green' GrandSlam
JUN 21 - JUL 4

Kamis, 08 Juli 2010

Bisnis & Bola Tennis

Pakar Bisnis Rhenald Kasali mengatakan seorang wirausaha harus bisa seperti bola tenis.


"Tak ada yang bisa memastikan bisnis kita akan tetap sama 5 tahun ke depan. Tak ada yang abadi. Akan ada masalah yang ditemui di tengah perjalanan wirausaha. Pilihannya 2, apakah akan jadi telur, atau bola tenis," ujar Rhenald dalam Seminar Wanita Wirausaha BNI dan Femina bertajuk Inspirasi Wirausaha 'Tren, Peluang & Tantangan Usaha 2010' di Ballroom Hotel Novotel Jalan Cihampelas, Sabtu (3/7/2010).


Dijelaskan Rhenald, jika seorang entrepreneur berjiwa telur, maka saat menghadapi masalah berat ia akan cenderung kalah dan menyerah. Sementara yang bermental bola tenis, ia akan senantiasa kembali ke atas untuk tetap mempertahankan usahanya.

..........................hemm, sekali lagi saya tidak merasa kesepian lagi. Kali ini, soal 'belajar' dari tennis, dan teman pemikiran kali ini - Rhenald Kasali. Kalau hanya contoh 'bouncing' saja, kenapa bola tennis yang harus jadi contoh?

Bola apa saja, saya kira juga mem-bouncing, bola-sepak misalnya, apalagi sekarang lagi heboh World/FIFA Cup?

Mengapa harus Wimbledon yang dijadikan contoh, sehingga saya merasa tak sendiri, mengarahkan pandangan lebih intens, mencari inspirasi/'belajar berbagai hal' justru ke Inggris Raya, Wimbledon 2010

Tadinya perasaan ini demikian gundah, lantaran Wimbledon besok , berakhir, 4 Juli. Entah siapa yang bakal mengangkat Piala Wimbledon menggantikan Federer tahun ini. Nadal yang asal Spanyol atau Berdych asli Czech Republic.

Kalau Nadal juara di Wimbledon, dan FIFA world cup ditangan Spanyol, notes saya ini lebih justified, walaupun 'point'nya tidak disana. (ketika menulis, Spanyol sdg menghadapi Paraguay).

Saya sangat setuju seperti kata Rhenal Kasali, bahwa wirausahawan itu harus seperti bola tennis, membal. Cuma menurut saya bukan sekedar membal-nya saja, bola tennis itu tidak seperti bola sepak yang dalam pertandingan formalnya selalu 'membal' diatas rumput.

Bola tennis dalam formal pertandingannya 'membal' diatas lantai keras, karpet, tanah liat dan rumput (Wimbledon). Pantulan diatas lapangan dari 4 jenis itu mengajarkan bahwa berbinis itu juga bersentuhan dengan BUDAYA setempat.

Strategi bisnis itu kemudian juga harus selaras/memperhitungkan  budaya setempat. Tidak selalu strategi di 'lapangan' Amerika cocok begitu saja untuk 'lapangan' Indonesia, betawi, sunda, jawa, papua........

Adalagi hal istimewa dari bola-tennis, tak sekedar 'bouncing'/membal saja, sebelum dan sesudah membal itu bola tennis juga berputar, dimana putaran sebelum menyentuh lantai itu (flat-slice-atau berbagai spin) menghasilkan putaran tertentu bergantung dari jenis-lantainya.

Rumit? itulah tennis, dan karenanya kita bisa belajar banyak dari sana. Kesuksesan dalam tennis adalah jika bola kita membal dihadapan lawan dan tak bisa dikembalikan dgn sempurna (unforce error) shg kita mendapat point. Dalam bisnis, kalaupun kita harus membal, perlu disiapkan putaran seperti apa sebelum membal, yang bisa menghasilkan poin dari 'lapangan' atau budaya-setempat.

Point paling elegan dari pemain tennis adalah ketika dia bisa mencetak 'winner', yaitu suatu kondisi dimana bola tennis membal dan 'sama sekali tidak terjangkau/tersentuh' oleh lawan.

Dalam bisnis, ini sama dengan 'blue ocean' strategy, atau pendakian 'bukit-lain' dari Sun Szu. Kita menang, dapat point, tanpa harus lawan luka (berdarah-darah), shg 'pertandingan' bisa dilanjutkan, dan oleh karena itu kita dan lawan menjadi sehat karena terus berolah raga.

Terakhir, dan inilah topik-diskusi PANAS saya dengan anak-saya yang gila-bola (world cup). Saya katakan, bahwa bola-tennis itu mengajarkan PENINGKATAN KEMAMPUAN INDIVIDUAL (KEMANDIRIAN) lebih baik dari BOLA-SEPAK. Lho, koq bisa, bola-sepak is the best, kata anak saya, pokoknya.....olleee...ole...ole...ole

Alle...VAMOS.....Come-On....begini, kemampuan sebagai pemain-bola(sepak) itu kan ditentukan oleh bagaimana pemain itu 'mengolah' bola bukan? Betul, kata anak saya. Lha berapa lama, seorang pemain-bola itu mengolah bola, pada saat bertanding selama 90(sembilan puluh) menit? Agak bengong sebentar, untungnya anak saya lumayan pandai 'berhitung/matematika/statistik'......hemmm, KURANG DARI 5(lima) menit rata-rata (selebihnya, 85 menit lainnya, lari-lari), hasil dari 90 menit dibagi jumlah pemain dilapangan 22 (dua puluh dua).

Nah sekarang bandingkan dengan berapa lama pemain-tennis 'mengolah' bola, pemain cewek saja kalau single dan tanding berjalan straight-set, akan mengolah bola selama 90 (sembilan puluh) MENIT sampai 120 (seratus dua puluh) MENIT, krn bola-tennis itu bergerak dengan kecepatan 100-200 km/jam dari raket para pemain kelas dunia dan lapangan hanya sepanjang 16 meter.[ Wimbledon 2010, mencatatkan rekor bermain tennis terpanjang, 11 jam 5 menit, partai Isner & Mahut]




Selain itu, tennis tidak memberi kesempatan sorang pemainpun (dalam double) untuk jadi FREE-RIDER. Krn begitu dia INFERIOR dibanding pasangannya, maka bola-tennis dari lawan akan mengarah kepadanya, maka dia harus mati-matian/bekerja lebih keras dari pasangannya untuk  menjangkau-mengembalikan-mematikan lawan.

Konteknya dalam kehidupan berbangsa-bernegara adalah mustahil negara itu akan jaya dan mensejahterakan rakyatnya, jika tidak mentradisikan sistem untuk 'meningkatkan kemampuan warga bangsanya', dan meniadakan kesempatan berbagai pihak untuk jadi FREE-RIDER dalam perjuangan bangsa.

FREE RIDER itu 'pemakan hak orang lain' adalah koruptor-koruptor, pengemplang pajak, birokrat yang hanya mengamankan jabatannya, kader partai/anggota ormas penggembira, pengusaha yang sekedar 'hidup dari' kota&negaranya-tanpa usaha 'menghidupi' tanah airnya, manajer-manajer yang tak kompeten, pegawai yang hanya 'bergunjing-politicking' dikantor

Indonesia, punya sistim kelola-negara yang tidak saja permisif terhadap FREE-RIDER, bahkan sudah DUKUASAI para FREE-RIDER itu, heran? saya kira tidak perlu, karena sebagian dari bangsa ini adalah keturunan KEN AROK, yang katanya TEGA membunuh PRODUSEN KERIS 'pesanan'nya yang AMPUH itu, bernama EMPU GANDRING.

Dalam situasi tersebut, TOTAL FOOTBALL tak akan EFEKTIF, MAN TO MAN MARKING kehilangan taji, karena KEMAMPUAN INDIVIDU bukan jadi PRIORITAS ORIENTASI PEMBINAAN/PENGHARGAAN, operasionalisasi strategi yang hanya menyuburkan para FREE-RIDER, mustahil tim apapun, bahkan bangsa ini menjadi PEMENANG (baca : bermartabat).

Frustasi? tidak perlu, mari kita KEMBANGKAN sendiri, TRADISI untuk memiliki kemampuan PARIPURNA dengan selalu menempa diri, menggembleng diri terus-menerus......Soekarno berpidato : digembleng...hampir hancur lebur, bangun kembali...digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali....DIGEMBLENG
[ tiada pengkabar KEBENARAN DIDUNIA ini yang SERTA MERTA diamini UMMAT, ada yg DILUDAHI-DILEMPARI BATU awalnya, bahkan ada yang harus diSALIB, diPENGGAL kepalanya, kendati yang dia kabarkan KEBENARAN ]

Dalam mentradisikan diri itu, saya memilih belajar main tennis.....Kalau teman-teman?

SALAM INDONESIA : MAKMUR !

Kirab / Karnaval di SOLO

Persoalan Kirab atau Karnaval dan penonton sepanjang Jln Slamet Riyadi Solo sudah saya sadari sejak saya pulang kampung di kota ini 7(tujuh) taun lalu, tepatnya pertengahan tahun 2003, atau 2(dua) tahun sebelum pak Jokowi memimpin Pemkot Surakarta.

Solusinya sudah saya usulkan 2(dua) tahun lalu, yaitu dalam rangkaian event yang dipercayakan kepada saya, International Keroncong Festival 2008, tepatnya Kirab Keroncong Pusaka. Namun karena 'energi warga kota' via APBDnya hanya sekitar 25% dari anggaran yang saya rencanakan untuk merealisasi solusi itu, terpaksalah Kirab Keroncong Pusaka itu saya amputasi dari International Keroncong Festival 2008.

Apalagi ada komunitas-keroncong yang justru tidak mendukung Kirab Keroncong Pusaka ini, mereka berpendapat seluruh anggaran itu, yang notabene 'uang rakyat Solo' dan harus kembali ke 'rakyat Solo' plus bonus-2nya kalau bisa, adalah mutlak HAKnya ORANG KERONCONG, ngapain buat Kirab Keroncong Pusaka segala, ngapain buat Penari Keroncong, ngapain buat Seminar Batik Corak Pamor Keris sebagai kostum penari Keroncong,ASTAGA............

Ketika puluhan tahun saya meninggalkan Kota Solo dan kemudian kembali, saya langsung menandai suatu tradisi yang dimiliki kota ini, unik dan karena itu MUSTAHIL untuk disamai oleh kota lain di Indonesia, yaitu tradisi kirab atau karnaval itu, lewat 'Jl Slamet Riyadi' yg lurus-lebar-panjang & ada rel-kereta yg masih berfungsi pula.

Waktu itu, tahun 2003, kirab atau karnaval tidak disaksikan oleh warga kota sebanyak seperti yang terakhir diselenggarakan, Solo Batik Carnival III.

Terdorong untuk MEMPROMOSIKAN 'media radio' yang saya pimpin kepada kawan-kawan Advertising Agency di Jakarta, yang sering melihat daerah yang bukan ibukota propinsi itu secara 'geo-administrasi', maka mengeksploitir 'pembeda' kota dan berimpact luas menjadi keniscayaan. Sehingga 'uang Jakarta' bisa mengalir lebih deras ke Solo, dalam bentuk billing-iklan-radio, yang tentu saja akan mengGEMUKkan perekonomian Kota Solo.

Saya ingat betul bagaimana 'media radio' yang saya pimpin memberi support suatu kirab kali yang PERTAMA, bahkan sebelum bangunan studio media-radio ini dibangun apa lagi beroperasi siaran, yaitu Kirab 12(dua belas) Putri penerima penghargaan dari Keraton Surakarta Hadiningrat.

Waktu itu kirabnya menggunakan Kereta-2 Keraton, tidak heran karena Pimpinan Kirab sekaligus Pimpinan Penyelenggara adalah Gusti Dipokusumo -Putra Raja Pakubuwono XII (Alm.), adik Raja Pakubuwono XIII-, temen sekolah SMAN-I Solo dulu, sekarang temen main tennis. 

"Media Radio" saya memberi sedikit 'kehebohan' dibelakang Kirab tersebut, dan sebagai 'imbalan'nya 'media radio' saya boleh 'beriklan' di body mobil yang dipinjam dari Tim SAR UNS, maklum belum punya 'OB Van'/'Official Car' waktu itu, sekedar untuk memperkenalkan Logo Radio (tersimpan makna visi saya tentang kota Solo) dan misi media-radio : "KEEP SOLO COMFORT"

Imbalan lainnya, Gusti Dipokusumolah yang bersedia memimpin Kirab Tumpeng 'media radio' saya dari studio yang masih dalam tahap pembangunan (baru 25%anlah) ke area Lapangan Tennis Manahan, kali ini dengan jalan kaki, serta memotong tumpeng ditengah lapangan tennis Manahan, tepatnya lapangan no 3 dari 9(sembilan) lapangan yg ada di area itu, sebagai penanda dimulainya secara resmi siaran 'media radio' ini, 9-9-2003, dan 'mengumandanglah' dengan frekuensi tinggi "keep solo comfort" dari jingle radio.

Sejak saat itu, 'media radio' saya keranjingan konvoi-kirab atau karnaval, demi sosialisasi visi-misi kami untuk kota Solo, mengingat pada awal-awal siaran kami baru menggunakan 10% power dari yang semestinya ditetapkan UU Penyiaran.

Untungnya saya bisa 'ngompori' merek-merek operator selular serta berbagai lembaga dan komunitas  untuk 'peduli kota' seperti 'media-radio' saya itu, serta menggunakan 'metode : kirab/karnaval/konvoi', mengingat saya sadar, media-radio saya masih beberapa bulan mengudara, pakai power yang hanya 10%.

2004.
Selama 2004, seingat saya 'media radio' saya memprakarsai beberapa kirab/konvoi mandiri dan support promosi & reportase 'pawai pembangunan' (acara tahunan Pemkot) serta Kirab Pusaka 1 Syura (Keraton & Mangkunegaran). Praktis itu yang bisa dilakukan mengingat 'kemampuan' kami sebagai 'warga baru' di Kota Solo, walaupun di beberapa konvoi kami beri sentuhan 'beda' agar warga kota penasaran untuk mengapresiasinya di Jl Slamet Riyadi tersebut.

Konvoi 'Seiring Merangkai Potensi', bersama, Indosat, memakai seluruh official-car Indosat.
Konvoi "tennis prestasi', bersama Pelti-Solo, memakai berpuluh andong dan mengkirabkan Winny Prakusya serta peserta Solo Open 2004.
Konvoi "Prestasi Lagi", bersama XLcomindo, memakai Andong + komunitas motor surakarta, mengkirabkan finalis futsal se Surakarta

2005
Gairah masyarakat untuk datang memberi apresiasi terhadap Kirab/Konvoi/Karnaval meningkat seiring dengan makin banyaknya pendengar 'media radio' saya tersebut. Pada tahun ini pula media-radio saya memiliki 'OB Van plus' yang diberi nama 'm-Stage' (mobile Stage -panggung di era mobile). Ini 'OB Van' yang dalam tempo 5(lima) menit bisa disulap menjadi panggung mini dengan 'sistim full hidrolik'.

Kendaraan tersebut diatas memberi inspirasi saya pula untuk sebuah solusi masalah Kirab dan Penonton yang membludak.

Peran pertama mobil ini dalam kirab adalah sebagai pos-aspresiasi-kirab. Seminggu sebelum acara, 'media radio' saya gembar-gembor diudara agar pendengar (yg kami sebut 'solo lovers') datang di sekitar 'm-stage', karena akan ada atraksi menarik ("Semar Kembar Sembilan"-karyawan 'media-radio', laki perempuan, dandan wayang atau bukan, berjumlah sembilan orang, bermake-up sama sebagai SEMAR), juga akan ada kuis bagi pendengar yang berada di sekitar 'm-stage'. Selama Kirab melintas didepan 'm-stage', Semar-Semar itu menyapa dan memberi semangat peserta kirab, serta mengajak penonton sekitar 'm-stage' untuk memberi applause kepada peserta.

Kejadian diatas adalah beberapa bulan sebelum Pilkada langsung di Kota Solo, yang menhasilkan pasangan Jokowi+Rudy memimpin Pemkot Solo periode 2005-2010.

Beberapa hari setelah pelantikan Walikota & Wakil Walikota Solo, Bapak Jokowi & Bapak Rudy harus bertindak sebagai Inspektur Kirab (?) dalam pawai pembangunan. Sementara itu, saya meneruskan tradisi mengeksplorasi keunikan kota Solo, yaitu Kirab/Karnaval/Konvoi lewat Jl Slamet Riyadi ini, agar  Kota Solo 'terlihat' segala potensi yang sejatinya sangat luar biasa. Namun, apakah harus jadi 'penggembira' saja dipinggir jalan seperti diatas.? Tidak, 'media radio' saya harus bisa memberi inspirasi elemen masyarakat yang lain untuk juga 'nguri-uri' kota Solo, sebagai pengejawantahan kecintaan pada kota ini. Lalu Bagaimana?

Untungnya lagi saya ketemu dengan kenalan yang 'gila peduli kota' juga, Mas Mayor Haristanto, beberapa hari (3?) sebelum pawai pembangunan tersebut diatas. Ngobrol diruang kantor saya memunculkan ide, untuk memberi highlight Jl Slamet Riyadi Solo itu jalan yang tiada-duanya di Indonesia, yaitu keberadaan rel-kereta di sisi selatan, yang masih berfungsi (dua kali per hari dilalui kereta jurusan Solo-Wonogiri).

Caranya, ikut pawai-pembangunan tersebut dengan memanfaatkan kereta-api, tepatnya gerbong kereta yang biasa dipakai mengangkut kayu gelondongan, ditarik lokomotif yang biasa dipakai inspeksi keadaan rel, dan diatas gerbong diisi atraksi band.

Saya dan Mas Mayor Haristanto berbagi tugas. Mas Mayor menghubungi pihak Setasiun Solo Balapan untuk kerjasama pengadaan gerbong dan lokomotifnya serta 'acara upacara' nanti kalau melintas didepan Walikota Baru itu. Sementara saya bertugas untuk mengisi 'atraksi' diatas gerbong tersebut serta mencari penyandang dana operasi ini. Kebetulan 'brand Indosat' pada waktu itu masih 'rada gila peduli kota' juga, sehingga langsung mensupport biaya operasi ini, sedangkan 'atraksi'nya kami mendapat dukungan dari beberapa band-indie Solo, yang selama ini sudah 'berteman' dengan 'media radio' saya.

Jrenggggg.......itulah peristiwa pertama sepanjang sejarah Kota Solo, juga berarti sepanjang sejarah Kota-kota di Indonesia (dunia? walahualam), pawai/kirab/karnaval......dibuka dengan kereta api beratraksi, sehingga penonton hepi. Apa acara ini berkesan bagi Bapak Jokowi? Saya yakin iya,  mengingat ini kali pertama beliau menerima peserta pawai-pembangunan, kedua,  saat itu oleh Mas Mayor dan Pak Sutrisno (kepala setasiun Solo Balapan) beliau didaulat menjadi PPKA (petugas pemberangkatan kereta api) lengkap dengan topi-khusus dan peluit. priiiiiitttttt......maka melintaslah kereta api beraktraksi itu, mengawali pawai pembangunan kota Solo 2005.

Pelajaran yang bisa diambil dari sini berkaitan hubungan antara peserta+penonton adalah : penonton sisi selatan, karena ada Kereta Api lewat, justru tidak merangsek ketengah jalan Slamet Riyadi, sehingga karnaval/kirabnya relatif bisa dinikmati, selain penonton kirabnya masih sedikit lantaran ini acara rutin tahunan yang begitu-begitu saja (kurang waktu untuk promosi keberadaan kereta api-beratraksi dalam pawai), juga masa itu belum musim hp ber-kamera, jadi belum ada penonton bernafsu untuk mengabadikan event untuk di upload ke internet.

2006-2008
Singkatnya, media-radio saya selalu memberi contoh dalam menyajikan atraksi dalam pawai, dimana masing-masing pihak, penyaji dan penonton, sama-sama nyaman. Juga 'manajemen penonton' agar penonton tertib serta memberi apresiasi yang baik terhadap peserta karnaval, yaitu dengan metode 'membuka pos-apresiasi' dengan 'm-stage' tersebut diatas, serta memberi hiburan ketika peserta pawai belum lewat kepada penonton disekitar.


Nah, kembali pada solusi yang saya maksud di alinea pertama notes ini. Metode kirab 'Kirab Keroncong Pusaka' itu menggunakan trailer, sehingga peserta bisa melakukan atraksi diatas trailer itu sepuasnya, koreografernya juga sudah bisa mengantisipasi gerakan-gerakan seperti apa yang efektif di lahan (trailer) yang tersedia, sementara penonton yang ingin mengabadikan dari dekat peserta pawai juga terlaksana hajatnya, tanpa harus mengganggu penonton yang dibelakang taman-jalan sekalipun, karena mereka tetap bisa menikmati atraksi diatas trailer itu, seperti liat televisi dirumah saja, gambar dan pertunjukannya berganti, bisa dinikmati, tanpa harus bergeser kekanan atau kekiri.

Bahkan waktu itu, 2008, dengan terselenggaranya Kirab Keroncong Pusaka (bagian dari IKF 2008), dengan metode kirab seperti diatas, saya berharap Jl Slamet Riyadi itu menjadi panggung pertunjukan terpanjang/terluas didunia. Caranya? Yaitu dengan 'memandang' sepanjang jalan Slamet Riyadi menjadi satu-kesatuan. Secara teknologi, available !

Pada waktu itu, saya sudah berkordinasi dengan Dinas Perhubungan Kota Solo, pak Yusca, untuk menggunakan CCTVnya yang canggih itu, kamera bisa berputar 180 derajat, bisa melihat 'plat nomor' kendaraan yang sedang berada didepan trafict-light (bang jo). Sayangnya belum tersedia di setiap perempatan jalan Slamet Riyadi, dari Gedengan sampai Gladak, untuk itu saya telah menghubungi pak Dwi Heriyanto (GM Telkom Solo), saya tanya apa bisa Telkom bangun CCTV dititik2 dimana Dishub tidak bisa menjangkau, kemudian langsung meng-streaming ke Internet. Pak Dwi bilang, available juga tuh.

Supaya streaming-an CCTV Dishub Solo itu 'enak ditonton' lewat internet dari seluruh dunia (walau tanpa suara), saya juga menghubungi temen-temen komunitas film indie, agar bisa mengirim wakilnya bertindak sebagai art-director diruang CCTV-Room Dishub Solo.........yah, tapi ini semua tinggal rencana karena hal-hal di alienea2 awal notes ini.

Masih soal enak ditonton dari seluruh penjuru dunia, maka Kirab itu harus 'mbanyu mili' (jw:mengalir). Urusan seperti ini, pergerakan pasukan keahliannya temen-temen saya di TNI. Oleh karena itu saya telah berkoordinasi dengan Dandim 0735, Letkol Sadputro Adi Nugraha, tentara nasionalis sejati-nyeni-sekaligus 'gaul' abisss, sekarang Kasrem Salatiga.

Beliau telah bersedia untuk 'mengawal' Kirab Keroncong Pusaka dg menggerakan pasukannya, termasuk 'mengelola' 20 trailer, sejak penghiasan hingga show, tidak itu saja Beliau juga menyiapkan akan 'memamerkan' pusaka-modern yang dimiliki Kodim 0735 Warastatama dalam kirab tersebut. Maklum, berkaitan pula dengan HUT TNI

Membandingkan dengan solusi Bapak Jokowi dan teman-teman, untuk membangun tribun, kalau belum terlanjur ditetapkan, mangga dipenggalih ulang.

Menurut saya, solusi itu tidak mencukupi (bukan mengatasi masalah tanpa masalah), bahkan membawa luka-sosial. Pasalnya, segala hal yang terbatas dan punya pembatas selalu menimbulkan diskriminasi, dan inilah biang 'luka sosial'.

Seluruh biaya itu kan dari rakyat, mestinya seluruh rakyat mendapatkan haknya yang sama. Bahkan andaikata saja pembiayaan itu ada sumbangan dari swasta, inipun bukan lantas sebagai keuntungan penyelenggaraan yang bisa digunakan 'sak penake dewe', karena hakekatnya itu 'opportunity cost' dari rakyat, rejekinya rakyat Solo.

Apalagi kalau pembiayaan ada peran dari APBD Propinsi Jateng dan APBN, ini lebih berat, karena event itu harus bisa dipertanggung jawabkan tidak saja pada warga kota Solo, tapi juga rakyat Jawa tengah dan rakyat Indonesia.

Mangga......dipun galih (Jw : Mohon Dipertimbangkan).

Jumat, 04 Juni 2010

Catatan Pendek dari Roland Garros

Dari sekian pertandingan di lapangan tanah liat ini, pertandingan hari ini [31/05/2010] yang menggelitik untuk saya membuat catatan ini. 

Tradisi saya dalam beberapa tahun ini, pada setiap 'grand slam' saya harus punya catatan tentang pertandingan tertentu, yang bisa menginspirasi saya dalam hal : spiritual, manajemen (merek), organisasi penyelenggaraan 'sport-event', organisasi pembinaan olahraga, 'keindahan', teknologi, baru yang terakhir taktik-strategi-dan teknik bermain tennis.

Kali ini, catatan saya hanya pada soal 'keindahan'. Kebetulan saja baru di Roland Garros ini, bertabur disain baru costum pemain wanita.[ untuk lebih lengkap : bisa dilihat di FB Group : "Fashionable Tennis]. Kombinasi pakaian dan teknik bermainnya inilah yang menghadirkan gambaran-gambaran menarik, mengusik rasa keindahan saya. :)

Terus terang, saya tidak peduli siapa yang bakal menang atau kalah, saya hanya menginginlkan pertandingan itu berjalan seru, kalau perlu 'rubber set' dan diakhiri dengan 'Mat Tie Break', agar lebih lama menikmati 'keindahan' itu.

Kombinasi fashion dan teknik permainan tadi, hampir setiap pertandingan itu 'indah'.....namun, pertandingan terakhir inilah yang menggoda saya untuk menuliskan catatan ini, yaitu pertandingan antara Jelena Jankovic (Serbia) dan Daniela Hantuchova (Slovakia - satu2nya 'hantu' yang paling cantik didunia).

Indahnya, dua pemain ini tampil dengan costum dengan konsep dan warna sungguh berbeda. Bagi fashion disainer mestinya ini bisa jadi kajian yang menarik, karena kalau dibandingkan dengan kostum yang dipakai pada jamannya Steffi Graff, beberapa puluh tahun lalu, kostum2 ini sangat 'revolusioner'. 

Sayangnya, pertandingan ini berjalan 'straight set', dan yang berhak ke babak semi-final adalah Jelena Jankovic. Sayangnya lagi, dibabak selanjutnya ini Maria Sharapova (Rusia) sudah tidak akan muncul lagi setelah dikalahkan Justine Henin, padahal kostumnya lebih 'inovatif', kendati warna-warnanya lebih 'elegan'.

Bahaya : Tangisan Sri Mulyani, tangisan 'perubahan'?

Saya sangat terkesan dengan tangisan ini.
12 tahun lalu, di layar kaca saya lihat Sri Mulyani menangis.
Kini, minggu lalu, saat pidato perpisahan di Kemenkeu, Sri Mulyani menangis lagi

Bisa dibaca, airmata itu tanda-posisi "berbeda" dengan Pemerintah.
Dulu Soeharto, sekarang SBY?
Dengan airmata itu, Soeharto 'jatuh'.
Akankah.......walahualam


Silahkan simak Pidato Sri Mulyani, saya ambil dari milis yang saya ikuti.......




Pidato Sri Mulyani Indrawati di Ritz Carlton PP, Selasa malam, 18 Mei 2010

.

Dikutip dari notes facebook Aditya Suharmoko (jurnalis The Jakarta Post), pidato ditranskrip oleh Ririn Radiawati Kusuma (jurnalis Media Indonesia).

Saya tak ingin berkomentar banyak. Semoga laki-laki itu, yang nanti sore kembali dari Malaysia , mengetahui isi pidato ini tadi malam.

Selamat menyimak.

----
Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil pansus Century. Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi sekarang menjadi grogi. Saya diajari pak Marsilam untuk memanggil orang tanpa mas atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah manggil 'Marsilam', selalu pakai 'pak', dan dia marah. Tapi untuk Rocky saya malam ini saya panggil Rocky (Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih atas...... (tepuk tangan)
;;
Tapi saya jelas nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor, kasus. Terimakasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya agak keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama karena judulnya adalah memberi kuliah. Dan biasanya kalau memberi kuliah saya harus, paling tidak membaca textbook yang harus saya baca dulu dan kemudian berpikir keras bagaimana menjelaskan.
Dan malam ini tidak ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus itu biasanya kuliah kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk eksekutif yang bayar SPP nya mahal. Dan pasti neolib itu (disambut tertawa).

Oleh karena itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya untuk berbicara tentang kebijakan publik dan etika publik.

Yang kedua, meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi disebutkan mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saya akan mengatakan sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk tangan). Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang saya pahami pada saat saya masih pembantu,

secara etika saya tidak boleh untuk mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi saya mohon maaf kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan amanat pada hari ini.
Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya, semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri di kabinet di Republik Indonesia itu.

Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran, dengan segala upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan, membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.
Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC, tentang filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik, hari pertama saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga, atau kelompok.
Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI untuk pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim presiden Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk, yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.

Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5 tahun saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan publik dan bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.

Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk dari suatu proses politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Disitulah letak bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari kebijakan publik, yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita.

Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan sistim pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita corrupt, maka pertanyaan 'kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang harus saya lakukan?'

Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu khawatirnya, tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk menjalankan kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas internal anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah berpikir ngeres mengenai hal itu.

Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap tahun sekitar, mulai dari saya mulai dari 400 triliun sampai sekarang diatas 1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun lebih.(batuk2) Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau bicara uang terus langsung....(ada air putih langsung datang diiringi ketawa hadirin).

Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance. pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang yang begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seoalh-olah menjadi barang atau aset miliknya sendiri.

Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan dalam, bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.

Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih menganggap bahwa juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat tapi ternyata 'bau'nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi lebih-lebih. Jadi saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi berdasarkan genuine product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.

Nah, di dalam hari-hari dimana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan rambu-rambu, internal maupun eksternal.

Mungkin contoh untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat Jenderal saya. "Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh dari seorang menteri." Biasanya mereka bingung, tidak perndah ada menteri yang tanya begitu ke saya bu.

Saya menetri boleh semuanya termasuk mecat saya.
Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh, buat mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di dalam konteks yang lebih besar dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu. Kita membuat standart operating procedure, tata cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance.
Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan konflik kepentingan.

Saya bisa cerita berhari-hari kepada anda. Banyak contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang, pada jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil hingga korupsi yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai korupsi yang sifatnya upstream dan hulu.
Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan itu. Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli sistem. Dia bisa menciptakan network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.

Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu, dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika. Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu menghianati atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran.

Etika itu ada di dalam diri kita.
Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi yang keren namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah di dalam domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur dan memberikan guidance kepada kita.

Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi menteri. Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek mengkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan 'Ini adalah panggung politik bu.'

Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua Dirjen yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya. Mereka sangat powerfull. Karena pengaruhnya, dan respectability karena saya tidak tahu karena kepada angota dewan sangat luar biasa. Dan waktu saya ditanya, mulainya dari...? Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya dan yang lain-lain selalu ditanya dengan sangat keras.

Saya tadinya cukup naif mengatakan, "Oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar." Dan saya legowo saja dengan tenang menulis pertanyaan-pertanyaan mereka.

Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau dijawab atau tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "Ibu tidak usah dimasukkan ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu episod drama saja. " Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin orang seperti saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika publik, kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi guidance? yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan. Dan itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama, kalau saya tidak corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua saya menjadi khawatir saya akan split personality.

Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah. Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi dengan tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.

Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple standart.
Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive director di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara maju.

Hari pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai etika sebagai seorang executive director, do dan don'ts. Disitu juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.

Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak yang ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah urusan sekunder.
Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha, meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya, tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa' semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan yang membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.

Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan pribadi saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu ternyata yang menimport adalah perusahaannya dia.

Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reason phenomena. Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance, tapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang yang jarang disebut pak.

Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia adalah komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan dengan tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan silahkan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di kementrian keuangan.

Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya. Jadi teman-teman saya itu dengan bitter mengatakan, "Mba ani jangan sadis-sadis amat lah kayak gitu. Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem aja. Nggak usah caranya kayak gitu."

Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum kalau di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti 'Lihat saja Sri Mulyani, neolib.'

Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episod yang terjadi beberapa kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta untuk menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.

Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota , propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban seseorang.

Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban personal.

Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan dan waktu saya mengatakan saya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat.

Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.

Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber finansialnya. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin itu dilakukan dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD nya pun tidak mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang tidak sebesar atau mungkin juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang bisa dijual belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari suatu kolaborasi.

Pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam konteks bahwa produk dari kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang begitu mahal sudah pasti akan distated dengan struktur yang membentuk awalnya. Karena kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya yang memegang kekuasaan, lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu demikian mahal.
Dan itu akan menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem demokrasi.

Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau menjadi bagian dari pemerintah, Tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu vakum atau hampa dari kepentingan. politik dimana saja pasti tentang kepentingan. Dan kepentingan itu kawin diantara beberapa kelompok untuk mendapatkan kekuasaan itu.

Pasti itu perkawinannya adalah pada siapa saja yang menjadi pemenang.

Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan atau ada yang menangisi ada yang gelo (jawa:menyesal.red), kenapa kok Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah suatu kalkulasi dimana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik.

Dimana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama. (ketawa dan tepuktangan)

Karena politik itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya saya katakan tadi. Hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu. Dan di dalam bahwa dimana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak memungkinkan etika publik itu bisa dimnculkan, maka untuk orang seperti saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya menerima tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang akan menghianati dengan berbuat corrupt.

Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painful. Sungguh painful sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau meneteskan airmata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu besar. Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar. Anda bisa, anda mampu, anda bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng abuse nya oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi agar nyaman dan anda tidak mau. (tepuk tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu di apresiasi. P2D kan baru muncul sesudah saya mundur (ketawa, disini dia terlihat mengusapkan saputangan ke matanya).

Jadi ya terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan republik ini lah.

Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa menit atau berapa jam. Soalnya diatas jam 9 argonya lain lagi nanti. Jadi saya gimana harus menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja balik terus nanti.

Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini atau cerita saya ini saya ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini. Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang yang ingin berbuat baik merasa frustasi. Atau mungkin saya akan less dramatic. Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan yang lebih besar. Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru, karena saya tahu betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah pada dilema, apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau anda out dan anda disitu akan punya kans untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting associated with menjadi less. Personal gain, public loss. If you are stay, dan itu yang saya rasakan 5 tahun, you suddenly feel that everybody is your enemy.

Karena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita tetap berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan kita juga jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak enak-enakan.

Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu bukan suatu pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk membuat space yang lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.

Nah kalau kita ingin kembali kepada topiknya untuk menutup juga, saya rasa forum-forum semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang duduk pada malam hari ini adalah kelompok kelas menengah.

Yang sangat sadar membayar pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik yang mengatakan dia membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela, anda sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini tetap berdaulat. Dan orang seperti anda yang tau membayar pajak adalah kewajiban dan sekaligus hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam bentuk sistim politik yang kita inginkan.

Maka sebetulnya di tangan orang-orang seperti anda lah republik ini harus dijaga. Sungguh berat, dan saya ditanya atau berkali-kali di banyak forum untuk ditanya, kenapa ibu pergi? Bagaimana reformasi, kan yang dikerjakan semua penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih penting dibandingkan bank dunia.

Seolah-olah sepertinya negara ini menjadi tanggungjawab Sri Mulyani. Dan saya keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga bertanggungjawab kalau bertama hal yang sama ke saya. Anda semua bertanggungjawab sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea cukai, jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik." Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat pelik.

Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan menjaga etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan. Dan saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.

Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul genuinly adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak tapi harus bekerja.

Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang untuk meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat. Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang ini untuk dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat.

Sehingga landscape negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi dengan seolah-oalh menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh.

Selama seminggu ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus perpisahan dengan jajaran di kementrian keuangan dan saya bisa memberikan, sekali lagi, testimoni bahwa perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform bisa jalan ada disana. Bantu mereka untuk tetap menjaga api itu. Dan jangan kemudian anda disini bicara dengan saya, ya bisa diselamatkan kalau sri mulyani tetap menjadi Menteri keuangan. Saya rasa tidak juga.

Suasana yang kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang lalu, seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, sri mulyani.

Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sedemikian sehingga seolah-olah persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada sautu ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat kebijakan publik. Dia berusaha, berusaha di setiap pertemuan, mencoba untuk meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan pribadi atau kelompok, dan apakah dia diintervensi atau tidak, apakah dia membuat keputusan karena ada tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam dia bertanya, dia minta, dia mengundang orang dan orang-orang ini yang tidak akan segan mengingatkan kepada saya.

Meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang seperti pak Darmin, siapa yang bisa bilang atau marahin pak marsilam? Wong semua orang dimarahin duluan sama dia.

Mereka ada disana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu, berbagai pilihan dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan, dan itu diaudit dan itu kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR. Bagaimana mungkin itu kemudia 18 bulan kemudian dia seolah-olah menjadi keputusan individu seorang Sri Mulyani. Proses itu berjalan dan etika sunyi. Akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan apakah pejabat publik yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat dia sudah mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik.

Saya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde baru, semua orang di stigma komunis, kalau ini khusus didisain pada era reformasi seorang distigma dengan sri mulyani identik dengan century. Mungkin kejadiannya di satu orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman telah terjadi.
Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik yang didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan. Divonis tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu episod yang sebetulnya sudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi guidance kita dibenturkan dengan realita-realita politik.
Dan untuk itu, saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari anda mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah sri mulyani lari? Dan saya yakin banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss atau kehilangan. Diantara anda semua yang ada disini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini. (applause)

Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang.

Terimakasih
(standing applause)